Senin, 25 Maret 2013

ASPRATAPA



Asosiasi Pertambangan Rakyat Tanah Papua Dideklrasikan
  • Ditulis oleh  Loy/Papos
JAYAPURA [PAPOS] –Sabtu (23/3) akhir pekan kemarin di CafĂ© Phoenam, Abepura, Dewan Adat Papua mendeklrasikan sebuah organisasi masyarakat [Ormas] yang disebut Asosiasi Pertambangan Rakyat Tanah Papua [ASPRATAPA] untuk membela hak-hak dasar kepemilik ulayat bagi masyarakat adat Papua sekaligus melindungi dalam pengelolaan pertambangan rakyat yang ada di tanah adat Papua.
Pendeklarasian ini diikuti sebanyak 10 Tim Deklarator diantaranya, Ketua Dewan Adat Paniai, John NR Gobai, Ketua Dewan Adat Keerom, Hubert Kwambre, Dewan Adat Mamta, Jack Kasimat, Ketua Dewan Adat Balim, Lemok Mabel, Ketua Dewan Adat Byak, Yan Piter Yarangga, Ketua Dewan Adat Intan Jaya, Piter Tabuni,  Ketua Dewan Adat Deiyai, Frans Mote, Dewan Adat Yapen, Elisa Merani, Dewan Adat Dooberay, Barnabas Mandacan,  dan Dewan Adat Bomberay, Engel Hombahomba.
Kepada wartawan, Ketua Dewan Adat Byak, Yan Piter Yarangga mengungkapkan, deklrasi ASPRATAPA ini merupakan suatu pergumulan panjang perjuangan masyarakat adat Papua, dimana  dalam forum-forum masa lalu telah mengeluarkan keputusan Manyvesto untuk perlindungan  hak-hak dasar otang asli Papua namun belum ada  hasilnya, padahal masyarakat Papua ingin menikmati hasil tanahnya sendiri.
Untuk itu, dengan dengan hadirnya asosiasi ini maka, dapat mendorong unttuk memperkarsai perjuangan dalam rangka keberpihakan kepada masyarakat adat Papua yang terus menerus berjuang untuk mengembangkan investor hak-hak dasar orang Papua.
Menurut dia, banyak Sumber Daya Alam [SDA] di tanah adat Papua baik itu yang kelas kecil maupun kelas besar seperti, Galian C [Pasir, Batu] dan Galian B [Pertambangan Emas, Batu bara] dapat dipertahankan dan bisa dinikmati oleh masyarakat adat Papua itu sendiri.
Lanjut dia, dibentuknya Asosiai ini juga merupakan inisiatif dari Dewan Adat yang ada di tanah Papua sehingga segala permasalahan SDA di tanah Papua dapat dipertahankan dan dilanjutkan kepada Pemerintah Daerah.
“Kami berharap adanya asosiai ini, Pemerintah bisa memperhatikan hak dasar masyarakat adat Papua,” ujarnya didamping rekan-rekan Deklratornya.
Lebihlanjut dijelaskan, Yan Piter Yarangga, masyarakat adat adalah pewaris sekaligus pemilik dari sumber daya alam yang ada di wilayahnya sejak mereka dilahirkan dan menjadi anggota dari komunitas adatnya. Masyarakat adat memproteksi sumberdaya alamnya dengan berbagai aturan adat agar sumber daya alam tersebut tidak cepat habis. 
Bahkan, menurut dia, hukum adat yang ada di masyarakat adat cenderung memprotek sumberdaya alam mereka, dan mereka memilih hidup selaras dengan alam yang tidak perlu mengeksploitasi alamnya secara berlebihan. “Masyarakat adat sebagian besar menyadari bahwa kelimpahan sumberdaya alam adalah sebuah berkah. Namun sebagian lagi menganggap sebuah kutukan, yaitu apabila sumber daya alam dikelola dengan sembarangan,” jelasnya.
Untuk itu, dalam mengelola sumber daya alam yang ada di wilayah adat adalah hak azazi yang di bawa sejak lahir oleh Masyarakat Adat sehingga klaim bahwa masyarakat adat adalah pemilik dari berbagai sumber daya alam yang ada di wilayahnya, merupakan keyakinan yang kebenarannya tidak dapat di ukur oleh sertifikat tanah atau sejenisnya yang dikeluarkan belakangan setelah sistem hukum negara berlaku.
“Sebab itu, hak itu merupakan hak bawaan yang dijamin oleh UUD 1945 sejak mereka dilahirkan dan menjadi anggota dari komunitas adatnya. Kemudian dalam perkembangannya negara menegasikan hak bawaan itu, sehingga terjadi berbagai konflik antara pemegang hak bawaan dengan pemegang hak pengelolaan yang diberikan oleh negara terjadi hampir di semua tempat,” ujarnya. [loy]
Terakhir diperbarui pada Senin, 25 Maret 2013 01:00


DEWAN ADAT BERSATU DEKLARASIKAN ‘ASPRATAPA’

Penulis : Timoteus Marten | 18:18
  • CUNDING LEVI

Deklarasi Asosiasi Pertambangan Rakyat Se-Tanah Papua-ASPRATAPA. (Jubi/Timoteus)
Jayapura, 23/3 (Jubi) - Masyarakat adat Papua dari beberapa wilayah adat mendeklarasikan serikat untuk melindungi pertambangan rakyat di berbagai wilayah adat di tanah Papua.
Deklarasi Asosiasi Pertambangan Rakyat Se-Tanah Papua (ASPRATAPA) dengan motto: ‘Bahan Tambang di Tanah Papua Ada Untuk Kami’ di deklarasikan di Abepura, Kota Jayapura, Sabtu (23/3) siang.
ASPRATAPA ini dideklarasi oleh John NR Gobai dari Dewan Adat Paniai, Hubert Kwambre dari Dewan Adat Keerom, Lemok Mabel dari Dewan Adat Baliem, Yan Piter Yarangga dari Dewan Adat Biak, Frans Mote dari Dewan Adat Paniai, Piter Tabuni dari Dewan Adat Intan Jaya dan Elisa Merani dari Dewan Adat Yapen.
Deklarasi yang dibacakan Ketua Dewan Adat Paniai, John NR Gobai yang juga sebagai penggagas, menyebutkan, mengelola sumber daya alam di wilayah ada merupakan hak asasi masyarakat adat. Karena itu, kebenaran akan kepemilikan sumber daya oleh masyarakat adat tidak bisa diukur oleh sertifikat tanah, sehingga klaim pengelolaan oleh rakyat bermaksud agar masyarakat adat bisa mandiri.
Mereka mmeminta Negara untuk berperan membuat regulasi. “Deklarasi yang kami lakukan harus diperhatikan perangkat pemerintahan agar harus ada ruang untuk anak asli Papua berperan. Kami akan kembangkan asosiasi ini menjadi alat untuk mendrong regulasi yang mendukung posisi kami dalam mengembangkan SDA,” kata Yan Piter Yarangga.
Masyarakat adat menilai, selama ini, pengelolaan SDA di wilayah adat di Papua didominasi pengusaha dan penguasa. Di wilayah Keerom, misalnya, yaitu di daerah Senggi dan Web. “Pertambangan rakyat ini jalan di luar dari aturan. Yang melaksanakan adalah pemodal dari kota,” ujar Hubertus Kwambre.
Elisa mengatakan, hampir pasti semua warga Papua di berbagai wilayah adat mengeluh akan keberadaan sumber daya yang dikelola pengusaha. “Hampir di sepanjang kali di Serui dikeruk dan dibawa pergi. Sebenarnya yang menikmati hasil bukan pemilik hak ulayat, tetapi pengusaha,” aku Elisa Merani.
John NR Gobai melanjutkan, pihaknya belum membentuk pengurus di dalam tubuh ASTRATAPA. Meski demikian, kata dia, pihaknya berkomitmen untuk melindungi pertambangan yang ada di setiap wilayah adat. (Jubi/Timoteus Marten)
 Deklarator ASPRATA Mananwir Y.P Yarangga (Ketua Dewan Adat Byak), Lemok Mabel (Ketua Dewan Adat Balim), Hubertus Kwambre (Ketua Dewan Adat Keerom), Elisa Merani (Sek Pemerintahan Adat Yapen dan John Gobai (Penggagas ASPRATAPA/Ketua Dewan Adat Paniai

Senin, 04 Maret 2013

Masyarakat Paniai Larang Alat Berat Masuki Tambang Tradisional


JAYAPURA, -  Masyarakat Adat Kabupaten Paniai masih memblokir akses alat-alat berat yang akan masuk di areal pertambangan tradisional di Sungai Degeuwo Kampung Nomouwodide, Distrik Bogobaida, Paniai Papua. Mereka menuntut aparat berwenang segera mengeksekusi Instruksi Bupati No.53/2009 tentang Penutupan Sementara Pertambangan Di Sepanjang Sungai Degeuwo.  

"Kami desak aparat berwenang segera menyegel alat-alat berat dan tidak mengizinkan pengiriman alat-alat berat untuk pendulangan emas di Sungai Degeuwo," ujar John Gobay, Ketua Dewan Adat Paniai, Rabu (21/10), di Jayapura. Adapun pemblokiran sudah dilakukan sejak sebulan ini. Puluhan masyarakat saat ini menduduki helipad di kilometer 100. Heli Kamov yang akan membawa alat berat ke lokasi pertambangan pun tak bisa tebang.

Pelarangan aktivitas pertambangan yang dilakukan masyarakat pemilik ulayat ini, menurut John dikarenakan belum ditemukan titik terang pembicaraan pembagian keuntungan masyarakat dan pengusaha. Menurutnya para pengusaha pertambangan dengan seenaknya mengeruk hasil bumi setempat tanpa mempedulikan kerusakan alam.

Selain itu, ia menuturkan, keberadaan pertambangan tradisional itu menyebabkan hadirnya kafe dan prostitusi ilegal. "Selain merusak lingkungan, penambangan ini juga merusak moral dan budaya masyarakat," ujarnya.
Karena alasan ini, pada awal Juli lalu, Dewan Adat Paniai mengajukan tuntutan kepada pengusaha tambang setempat untuk memerhatikan hak-hak masyarakat asli setempat. Surat ini ditembuskan kepada Pemda Paniai, MRP, dan Kapolda Papua. Hasilnya, bupati mengeluarkan Instruksi Bupati No.53/2009 tentang Penutupan Sementara Pertambangan Di Sepanjang Sungai Degeuwo. 
Gambar Eksavator yang dimiliki oleh PT.Salomo Mining di Bayabiru

Dewan Adat Paniai Ketemu KOMNAS HAM RI

SBY Harus ke Papua
 
Fathiyah Wardah
Komisioner Komnas HAM, Ridha Saleh di Jakarta, Rabu mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera mendatangi langsung Papua untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan sejumlah tokoh yang ada di Papua.
Menurut Ridha, komunikasi tersebut penting sebagai langkah awal untuk menuju pembicaraan Papua yang lebih damai dan baik. Kedatangan Presiden SBY ini kata Ridha juga diinginkan oleh sejumlah tokoh yang ada di Papua.

Ridha Saleh mengatakan, "Secara khusus kita minta SBY untuk datang ke sana. Mereka itu, dari beberapa pendapat tokoh-tokoh itu mereka minta SBY datang, terbuka  berbicara, apa mau pemerintah dan apa mau masyarakat Papua.  Bicarakanlah sebagai pra untuk menuju pembicaraan Papua yang lebih damai, lebih utuh. Menjadi bagian persaudaraan kita di Negara Republik Indonesia ini."

Selain itu, Ridha Saleh juga berharap agar penambahan aparat ke Papua segera dihentikan. Menurut Ridha, hal ini hanya akan menambah ketegangan dan banyak korban dari masyarakat sipil.

Hari Rabu ini, Dewan Adat Daerah Paniai, Papua mendatangi kantor Komnas HAM, Jakarta untuk mengadukan adanya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat, terutama pasca penambahan jumlah aparat Brimob di daerah tersebut.

Ketua Dewan Adat Daerah Paniai, John NR Gobai menyatakan penambahan aparat di daerahnya sangat membuat masyarakat ketakutan karena para pasukan Brimob tersebut kerap melakukan pemeriksaan ke rumah-rumah masyarakat sipil.
Menurut John Gobai, mereka (aparat keamanan) juga telah menembak dua masyarakat sipil yang dikira aparat adalah anggota Organisasi Papua Merdeka. Padahal menurutnya, bisa dipastikan dua warga tersebut adalah masyarakat sipil biasa.

Untuk itu, dia meminta Kapolri agar secepatnya menarik semua aparat Brimob yang didatangkan beberapa waktu lalu ke Paniai.  Dia juga mendesak agar tindakan sewenang-wenang pasukan Brimob yang mengkambinghitamkan masyarakat sipil dengan stigma anggota OPM dihentikan.

"Karena permintaan kami adalah menarik mereka kembali, tidak boleh ada di Paniai. Karena dengan polisi yang ada di sana sudah cukup. Situasi Paniai sebenarnya sangat kondusif untuk orang bisa melakukan aktivitasnya secara baik.  Tetapi justru kehadiran aparat Brimob ini justru membuat orang tambah resah kemudian kekerasan juga terjadi di sana," ujar John Gobai.
Menanggapi pengaduan tersebut, Komnas HAM berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut kepada Kepala Kepolisian Indonesia.
Sementara itu Mantan Anggota Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan dan  otonomi daerah, Robin Gobay mengungkapkan masalah Papua tidak boleh dipolitisasi sehingga penyelesaian masalah Papua bisa diselesaikan.
"Pertama, perspektif itu kita ubah dulu. Memahami orang Papua dengan segala problemnya dari bagian dari persoalan bangsa. Soal Papua merdeka dan sebagainya harus dilihat konteksnya yang sangat tersendiri. Ini terus terang saja seperti contoh yang diungkapkan tadi seluruh masyarakat Papua harinya tidak tenang, mental traumatis artinya mental yang penuh dengan ketakutan. Dengan adanya mobilisasi Brimob banyak itu sudah menyalahi Undang-Undang. otonomi khusus yang saya buat sendiri pasal 12 mengenai polisi daerah dan nasional," kata Robin Gobay.
Sebelumnya Pemerintah Indonesia mengatakan proses dialog dengan warga Papua masih terkendala dengan sulitnya mencari perwakilan yang diakui oleh seluruh warga.
Utusan pemerintah untuk Papua, Farid Husain mengatakan saat ini ada sejumlah faksi yang berbeda baik di tubuh gerakan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka maupun petinggi politiknya.
Peneliti LIPI yang juga pemerhati persoalan Papua, Muridan Widjojo mengatakan proses untuk menemukan representasi warga Papua yang diakui oleh seluruh kelompok ini akan membutuhkan waktu yang lama. Lamanya proses dialog, menurut Muridan, juga diakibatkan oleh konflik dan kasus kekerasan di Papua yang telah terjadi selama 46 tahun.

Kekerasan terhadap masyarakat di Paniai, 30 Juni 2009



Penembakan 4 orang masyarakat Paniai oleh oknum anggota Brimob Polda Papua

Pada hari selasa, tanggal 30 Juni 2009, pada jam 10.30 WIT Sampai dengan jam 10.45 WIT, terjadi penembakan terhadap 4 Orang, Masyarakat Paniai, yang berasal dari Distrik Paniai Barat oleh Oknum anggota BRIMOB POLDA Papua BKO POLRES Paniai di jalan Iyaitaka, Kampung Enarotali, Distrik Paniai Timur, Kabuapten Paniai.

Pada pagi jam 08.00 WIT Sekelompok sekitar 200 orang Masyarakat Paniai Barat tiba di Lapangan Suharto Enarotali untuk menyelesaikan masalah antara Keluarga Degey dan Keluarga Boma terkait dengan  meninggalnya dan kerugian barang dan uang di curi oleh saudara istrinya (marga degei) yang dialami oleh Alm.Manis Boma yang meninggal pada 2 minggu yang lalu.

Karena menunggu lama, pada jam 09.30 WIT dan keluarga Degei tidak kunjung datang, maka sekelompok masyarakat Paniai Barat dan sekelompok anak-anak asal Idakebo, Kab. Dogiyai, dengan panah, parang, (kebiasaan masyarakat  pergi menuju ke Rumah Bp Yosia Degei (Kepala Dinas PERINDAGKOP Paniai) yang menurut masyarakat Paniai Barat ikut bertanggung jawab atas masalah antara keluarga Degei dan Boma tersebut, Dalam perjalanan menuju Rumah Bp. Yosia Degei, tepatnya di antara SD YPPK Enarotali dan Rumah Bp.Zet Yeimo, mereka bertemu dengan sekitar 11 orang anggota BRIMOB dengan Mobil Pick Up BRIMOB yang baru pulang dari MAPOLRES Paniai di Madi. Melihat masyarakat dengan kondisi demikian (bersejatakan panah dan parang), Anggota BRIMOB mencoba untuk menenangkan masyarakat tetapi tidak dapat dihindari sehingga  BRIMOB mengeluarkan tembakan peringatn, tembakan peringatan ditanggapi masyarakat sebagai penyerangan oleh BRIMOB, maka massa sudah tidak lagi berpikir untuk pergi ke rumahnya Bp. Yosia Degei, tetapi saling menyerang dengan BRIMOB, pada saat terjadi saling serang tersebut masyarakat melemparkan batu kearah BRIMOB dan BRIMOB membalas dengan mengeluarkan tembakan, pada saat itu, Kepala Distrik Paniai Barat (Lukas Pigai), John Gobai, Bp.Kletus Boma, coba menenangkan masa dan melerai tetapi tidak bisa didengar oleh masyarakat dan akhirnya saling serang tidak dapat dihindari, masyarakat dengan batu dan panah sebaliknya BRIMOB dengan senjata  pada jam 10.30 WIT,
1.      Marten Yan Pigai (Umur 38 Tahun, Lak-laki, Alamat  Kampung Kegouda, Distrik Paniai Barat,Kabupaten Paniai) terkena peluru dan  luka tembak di Paha kanan dan  perut,
melihat itu masyarakat tambah marah dan menyerang terus BRIMOB, sambil mundur kearah pos BRIMOB mengeluarkan tembakan akhirnya peluru juga terkena pada tubuh, 3 orang masyarakat yaitu

1.     Pendetus Boma (Umur 45 Tahun, Laki-laki, Kampung Kegouda, Distrik Paniai Barat) terkena peluru, dan mengalami luka tembak di betis kanan.
2.    Simion Keiya ((45 Tahun, Laki-laki, Kampung Kegouda) Terkena peluru dan mengalami luka tembak di leher.
3.    Mika Boma (Umur 59 Tahun, Laki-laki) terkene peluru di bagian Dada dan akhirnya meninggal dunia seketika di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Sementara itu dalam saling menyerang itu seorang Anggota BRIMOB terkena Panah yang dilepaskan oleh masyarakat
Setelah ada korban masyarakat yang ada di sekitar memanggil mobil dan membawa Yan Pigai ke RSUD di Madi, beberapa saat kemudian datang Kepala Distrik Paniai Barat dengan mobil ambulance untuk membawa korban, tetapi masyarakat yang menolak untuk membawa korban yang meninggal, akhirnya Ambulance hanya membawa korban yang masih hidup. Pada jam 11.00 KAPOLRES Paniai dan rombongan perwira lengkap dengan mobil tiba di TKP, dan langsung menuju MAKO BRIMOB di Aikai untuk menenangkan anggota BRIMOB, setelah itu KAPOLRES memerintahkan anak buahnya dan masyarakat untuk mengangkat korban yang sudah meninggal (MIKA BOMA) ke dalam Mobil  milik POLRES Paniai  serta 1 (satu) orang Anggota BRIMOB yang terkena Panah dari masyarakt dan bersama rombongan dilarikan ke RSUD Paniai di Madi.
Pada jam 12.00, rombongan tiba di RSUD dan dokter langsung memeriksa 3 (tiga) korban masyarakat yang masih hidup tetapi karena peluru masih bersarang dalam tubuh korban, dan peralatan bedah dan dokter bedah di RSUD Paniai tidak ada maka korban dirujuk ke RSUD Nabire, kemudian pada jam 14.00 ketiga korban dengan menggunakan pesawat Aviasatar di terbangkan ke Nabire.


Kekerasan terhadap masyarakat di Paniai, 30 Juni 2009



Penembakan 4 orang masyarakat Paniai oleh oknum anggota Brimob Polda Papua

Pada hari selasa, tanggal 30 Juni 2009, pada jam 10.30 WIT Sampai dengan jam 10.45 WIT, terjadi penembakan terhadap 4 Orang, Masyarakat Paniai, yang berasal dari Distrik Paniai Barat oleh Oknum anggota BRIMOB POLDA Papua BKO POLRES Paniai di jalan Iyaitaka, Kampung Enarotali, Distrik Paniai Timur, Kabuapten Paniai.

Pada pagi jam 08.00 WIT Sekelompok sekitar 200 orang Masyarakat Paniai Barat tiba di Lapangan Suharto Enarotali untuk menyelesaikan masalah antara Keluarga Degey dan Keluarga Boma terkait dengan  meninggalnya dan kerugian barang dan uang di curi oleh saudara istrinya (marga degei) yang dialami oleh Alm.Manis Boma yang meninggal pada 2 minggu yang lalu.

Karena menunggu lama, pada jam 09.30 WIT dan keluarga Degei tidak kunjung datang, maka sekelompok masyarakat Paniai Barat dan sekelompok anak-anak asal Idakebo, Kab. Dogiyai, dengan panah, parang, (kebiasaan masyarakat  pergi menuju ke Rumah Bp Yosia Degei (Kepala Dinas PERINDAGKOP Paniai) yang menurut masyarakat Paniai Barat ikut bertanggung jawab atas masalah antara keluarga Degei dan Boma tersebut, Dalam perjalanan menuju Rumah Bp. Yosia Degei, tepatnya di antara SD YPPK Enarotali dan Rumah Bp.Zet Yeimo, mereka bertemu dengan sekitar 11 orang anggota BRIMOB dengan Mobil Pick Up BRIMOB yang baru pulang dari MAPOLRES Paniai di Madi. Melihat masyarakat dengan kondisi demikian (bersejatakan panah dan parang), Anggota BRIMOB mencoba untuk menenangkan masyarakat tetapi tidak dapat dihindari sehingga  BRIMOB mengeluarkan tembakan peringatn, tembakan peringatan ditanggapi masyarakat sebagai penyerangan oleh BRIMOB, maka massa sudah tidak lagi berpikir untuk pergi ke rumahnya Bp. Yosia Degei, tetapi saling menyerang dengan BRIMOB, pada saat terjadi saling serang tersebut masyarakat melemparkan batu kearah BRIMOB dan BRIMOB membalas dengan mengeluarkan tembakan, pada saat itu, Kepala Distrik Paniai Barat (Lukas Pigai), John Gobai, Bp.Kletus Boma, coba menenangkan masa dan melerai tetapi tidak bisa didengar oleh masyarakat dan akhirnya saling serang tidak dapat dihindari, masyarakat dengan batu dan panah sebaliknya BRIMOB dengan senjata  pada jam 10.30 WIT,
1.      Marten Yan Pigai (Umur 38 Tahun, Lak-laki, Alamat  Kampung Kegouda, Distrik Paniai Barat,Kabupaten Paniai) terkena peluru dan  luka tembak di Paha kanan dan  perut,
melihat itu masyarakat tambah marah dan menyerang terus BRIMOB, sambil mundur kearah pos BRIMOB mengeluarkan tembakan akhirnya peluru juga terkena pada tubuh, 3 orang masyarakat yaitu

1.     Pendetus Boma (Umur 45 Tahun, Laki-laki, Kampung Kegouda, Distrik Paniai Barat) terkena peluru, dan mengalami luka tembak di betis kanan.
2.    Simion Keiya ((45 Tahun, Laki-laki, Kampung Kegouda) Terkena peluru dan mengalami luka tembak di leher.
3.    Mika Boma (Umur 59 Tahun, Laki-laki) terkene peluru di bagian Dada dan akhirnya meninggal dunia seketika di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Sementara itu dalam saling menyerang itu seorang Anggota BRIMOB terkena Panah yang dilepaskan oleh masyarakat
Setelah ada korban masyarakat yang ada di sekitar memanggil mobil dan membawa Yan Pigai ke RSUD di Madi, beberapa saat kemudian datang Kepala Distrik Paniai Barat dengan mobil ambulance untuk membawa korban, tetapi masyarakat yang menolak untuk membawa korban yang meninggal, akhirnya Ambulance hanya membawa korban yang masih hidup. Pada jam 11.00 KAPOLRES Paniai dan rombongan perwira lengkap dengan mobil tiba di TKP, dan langsung menuju MAKO BRIMOB di Aikai untuk menenangkan anggota BRIMOB, setelah itu KAPOLRES memerintahkan anak buahnya dan masyarakat untuk mengangkat korban yang sudah meninggal (MIKA BOMA) ke dalam Mobil  milik POLRES Paniai  serta 1 (satu) orang Anggota BRIMOB yang terkena Panah dari masyarakt dan bersama rombongan dilarikan ke RSUD Paniai di Madi.
Pada jam 12.00, rombongan tiba di RSUD dan dokter langsung memeriksa 3 (tiga) korban masyarakat yang masih hidup tetapi karena peluru masih bersarang dalam tubuh korban, dan peralatan bedah dan dokter bedah di RSUD Paniai tidak ada maka korban dirujuk ke RSUD Nabire, kemudian pada jam 14.00 ketiga korban dengan menggunakan pesawat Aviasatar di terbangkan ke Nabire.