Senin, 04 Maret 2013

PTFI, Anak Emas dan Anak sampah



KASTA ANAK EMAS DAN ANAK SAMPAH DI FREEPORT
OLEH
 JOHN GOBAY
KETUA DEWAN ADAT DAERAH PANIYAI

Pemblokiran tempat produksi dan penambangan PTFI yang dilakukan oleh  masyarakat yang terjadi dalam minggu lalu. Jika dilihat secara implicit pihak-pihak yang berkompeten dalam akar soalnya adalah pendulang emas,aparat keamanan dan security PTFI, tetapi setelah insiden itu terjadi maka hal itu mempunyai imbas yang luas, karenanya pihak yang berkompeten adalah; masyarkat pegunungan tengah (mahasiswa dan masyarakat). Meluasnya pihak yang berkompeten mungkin karena ada pihak yang ingin memetik manfaat dari insiden ini untuk kepentingan kelompoknya demi tujuan yang hendak dicapai, tetapi mungkin juga karena masyarakat papua dan atau masyarakat pegunungan tengah khususnya kecewa dengan kehadiran PTFI yang tidak memberikan manfaat secara maksimal kepada masyarakat papua umumnya, Tetapi disisi laian ada pihak yang secara professional memenage perasaan kecewa masyarakat Papua terhadap PTFI tetapi hal itu tak disadari oleh Masyarakat Pegunungan Tengah,  sehingga moment ini dimanfaatkan untuk melakukan protes dengan cara pemblokiran, protes ini juga disebabkan oleh pelayanan pihak manajemen PTFI (baik orang papua dan non papua) yang terkadang tidak memberikan kepuasan yang adil dan merata, bagi masyarakat baik Amungme dan kamoro dan pegunungan tengah (Mee,Moni,Lani, Nduga dan Damal) sehingga tercipta struktur sosial dalam pelayanan oleh PTFI, Anak Emas dan Sampah PTFI; ANAK EMAS PTFI adalah TNI/POLRI, Pemerintah, Masyarakat Amungme 3 desa di Tembagapura (Bug Negel), Masyarakat dataran rendah di daerah Komoro, beberapa orang Amungme dan Kamoro, dan orang Mee,Lani, Damal,Nduga yang sebagian hidupnya tergantung dari PTFI, beberapa orang pesisir pantai papua, dan non papua lainnya.;  SAMPAH PTFI; orang amungme non 3 desa di tembagapura, dan orang kamoro diluar 3 desa dataran rendah, sebagian besar orang pegunungan tengah dan Papua.  Maka anak sampah melakukan protes terhadap struktu ini “ Mungkin karena menyadari  sampah maka mereka mendulang sampah PTFI, tetapi  itupun dilarang oleh anak emas PTFI”
Sekilas jika kita mengingat kembali perjalanan panjang pengorbanan masyarakat untuk PTFI pada saat awal ekspedisi awal 1936 oleh Dozy untuk menemikan gunung bijih banyak korban masyarakat amungme yang sakit dan meninggal hanya untuk berbakti ke PTFI dalam menemukan harta karun di Gunung Nemangkawi perlu dicatat lagi bahwa terdapat juga korban jiwa masyarakat Amungme non BugNegel di Agimuga  pada tahun 1977 karena daerah itu dibombardir oleh ABRI sebagai balasan dari pemotongan pipa PTFI sebagai bentuk protes  masyarakat terhadap kehadiran PTFI di bumi papua banyak kejadian seperti  peristiwa 1994 di Tembangapura dan 1996 di Timika, yang membuat masyarakat merasa tidak tenang, tidak aman dan tidak damai di tanahnya sendiri, karena sejak kehadiran PTFI  ada kesan bahwa “ ribut dengan seorang pejabat PTFI dan PTFI seakan-akan rebut dengan Negara RI”
            Dari aspek sosial sejak kehadiran  PTFI tidak banyak memberikan manfaat kepada masyarakat sejak 1974, bersamaan dengan dibuatnya January 1974 yang harapannya menjadi momentum penting untuk dimulainya kemitraan PTFI dengan masyarakat papua, implementasinya hanya menghasilkan “Anak Emas dan Sampah PTFI” dari segi pendiidikan; yang boleh bersekolah sampai ke jayapura, Bandung dan luar negeri adalah anak karyawan dan anak orang diangkat sebagai penghubung antara PTFI dan Masyarakat (hasil January Agreement 1974) sedangkan anak masyarakat local hanya cukup bersekolah di kampung-kampung seperti Kebo,Ilaga, dan menjadi pembantu-pembantu rumah tangga. Dari segi Ekonomi; sayur, buah dan daging didatangkandari luar timika padahal lahan di Timika dan Agimuga sangat menungkinkan untuk pengembangan lahan pertanian sebagai lumbung pangan untuk mensuplai ke PTFI, jika daerah ini dikembangkan baik sejak tahun-tahun awal operasi PTFI di Papua.
Dari segi kesehatan sejak kehadiran PTFI tidak pernah dibangun klinik atau rumah sakit yang permanent di Timika sesuai January agreement 1974,  dengan pelayanan yang baik untuk masyarakat  sehingga masyarakat tidak kehilangan nyawa karena malaria,dll. Tetapi yang terjadi PTFI hanya bisa membantu menyumbang dana untuk pembangunan rumah sakit-rumah sakit elit di jakarta untuk kepentingan pejabat dan masyarkat indonesia di jawa padhal disamping wilayah kerjanya ada masyarakat yang meninggal kerena penyakit.
            Semua kekeliruan itu selelu dianggap enteng oleh pihak PTFI dengan pernyataan bahwa mereka selalu tunduk pada pereturan perundang-undangan sesuai dengan arahan pemerintah. Semua itu mulai berubah dengan adanya protes masyarakat amungme dalam tahun 1980 an di bawah pimpinan P. Natho Gobay,Pr dan ibu yosepha alomang, perubahan  mulai terjadi lagi sejak 1995 saat pelanggaran HAM Desember 1994 di tembagapura terungkap dan juga ada upaya hukum masyarakat amungme terhadap PTFI oleh Bp.Thom Beanal ke Pengadilan di Negara bagian Lousiana,AS pada tahun 1996, dalam tahun yang sama pecahlah kerusuhan timika 1996 yang mengorbankanndua orang paniai dan dua orang anak asal jayapura, kerusuhna yang terkesan spontan oleh masyarakat tetapi menyimpan mistery yang amat dalam, siapa actor dibalik kerusuhan itu?
Perubahan kebijakan itu adalah dengan adanya pemberian dana 1%, dengan membentuk satu departemen baru yaitu Comunnity Dept yang saat itu dipimpin oleh Bp.August Kafiar,MA.
Dana 1 % terlihat merupakan wujud tanggung jawab PTFI kepada masyarakat papua tetapi hasilnya masih ada pula yang belum tersentuh oleh pelayanan oleh dan dari hasil dana 1% karena terlihat terdapat kebijakan proteksi dan terlihat struktur “ Anak emas dan sampah PTFI”  dalam pemanfaatan dana 1%.
Walau bukan yang berwenang melakukan evaluasi terhadap hasil dana 1% namun secara awam jika dilihat walaupun mengeluarkan dana bermilyar-milyar rupiah tetapi dengan dana ini  ternyata  secara umum belum mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat local secara umum tetapi PTFI hanya telah menciptakan struktur sosial dimasyarakat dengan sebutan “Anak Emas dan Sampah PTFI”
Walaupun telah secara tidak langsung beberapa oknum karyawan PTFI terlibat dalam Pelanggaran HAM dan ikut menciptakan suasana mencekam, tidak damai, tidak tenang seakan-akan masyarakat setempat hidup di tanah pengasingan/penjajahan tetapi PTFI masih terlalu aktif membantu dana dan sarana  untuk kesatuan-kesatuan aparat keamanan di Timika hanya untuk menjaga dan atau menjadi pagar hidup untuk asset PTFI dengan dalih PTFI adalah obyek Vital Negara, sehingga masyarakat harus menjadi korban dari kebijakan ini.

Community Development
            PTFI merupakan perusahaan yang sedang Beroperasi di Wilayah Kabupaten Mimika untuk blok “A” tetapi jangan lupa bahwa PTFI pada tanggal 26 Desember 1991 telah menandatangani Kontrak Karya II yang juga meliputi daerah Paniai dan Puncak Jaya, Daerah dari Suku Mee, Moni, Wolani, Nduga, Lani, dan Damal sehingga sesuai dengan tuntutan bisnis Global, dalam upaya Implementasi bisnis yang beretika, Konsekuensi logis dari Kontrak Karya II PTFI dengan pemerintah RI adalah PTFI harus mempunyai kewajiban sosial terhadap Masyarakat dalam Areal KK II dengan menyediakan fasilitas Kesehatan, Pendidikan, dll;
            Sesuai dengan  penjelasan pimpinan PT.Freeport Indonesia mengenai Freeport Fund For Irian Jaya Development (Dana Freeport bagi Pembangunan Irian Jaya) yang dikeluarkan pada tanggal 14 Agustus 1998 yang ditandatangani oleh EVP dan Direktur PTFI Prihadi Santoso dan Komisaris PTFI Paul S.Murphy (Terlampir).  Maka perluasan  dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat di areal KKII PTFI  yaitu masyarakat adat Paniyai dan Puncak Jaya, melalui dana FFIJD atau yang lebih dikenal dengan nama Dana 1% adalah hal yang sangat urgen yang harus dilakukan, sebagai bentuk reformasi kebijakan PTFI sebab yang perlu disadari adalah walau Dana 1% muncul setelah ada kerusuhan 1996, namun disadari  bahwa ini merupakan Implementasi pelaksanaan tanggung jawab sosial PT. FI terhadap masyarakat sekitar / di areal KK PTFI. Pengelolaan dana 1% ini, sejak 1996 Pengelolanya telah berganti selama tiga kali, yaitu : PWT2, LPMI, dan LPMAK tetapi sumber dananya tetap yaitu dari PT. Freeport Indonesia dengan sumber dana Freeport Fund For Irian Jaya Development (FFIJD)

Pengabaian terhadap Masyarakat Adat Paniyai dan Puncak Jaya
            Berkaitan erat dengan dengan pokok – pokok diatas, dan sesuai dengan realitas pelaksanaan program FFIJD, yang selalu mengabaikan masyarakat adat Paniyai dan Puncak jaya, karena tidak memanfaatkan dana 1% hal itu telah dilakukan sendiri oleh PTFI karena tidak melaksanakan sesuai konsep document FFIJD yaitu “…… masyarakat paniyai dan puncak jaya berhak memanfaatkan dana FFIJD dengan mengadakan kegiatan social dan ekonomi di desa asalnya di Paniyai dan Puncak Jaya…”  pengabaian lainnya adalah juga dilakukan  terhadap masyarakat adat paniyai dan berkaitan pula dengan dikeluarkannya Kriteria pelayanan Kesehatan LPMAK di rumah sakit yang dibangun dengan dana 1% yaitu RSMM (Rumah Sakit Mitra Masyarakat) Timika, kebijakannya adalah memungut biaya pengobatan bagi masyarakat Suku Mee, Moni, Dani, Damal dan Nduga di luar Timika, pada hal sejak didirikan tahun 1999 hal itu tidak dilakukan, Perlu disadari bahwa kebijakan ini berindikasi akan terjadi Genocide, karena Orang Sakit akan pasrah pada Nasib dan Meninggal sebelum mendapatkan Pengobatan, pada hal dulu masih bisa berobat di RSMM. (terlampir)
            Nilai nominal dana 1% tidak mungkin berjumlah tetap, tetapi akan meningkat bersama dengan Peningkatan jumlah Produksi PTFI, karena itu sangat tidak beralasan kebijakan Diskriminatif yang dibuat oleh LPMAK, karena kalau demikian tergambar adanya dugaan Korupsi di LPMAK dan atau Konspirasi Korupsi di antara beberapa oknum Pejabat PTFI dan Manajemen LPMAK, dan mengorbankan atau menghilangkan Dana Masyarakat pemilik Hak Ulayat.
            Apakah Dana 1% yang diterima oleh LPMAK berkurang jumlahnya ? sehingga kebijakan ini dapat dilakukan, pada hal, Nilai Nominal 1% pasti meningkat sejalan dengan peningkatan Produksi dan pendapatan kotor PT. FI dan juga meningkatnya Kurs Dolar AS terhadap Rupiah, kalau berkurang siapakah yang mengurangi PTFI atau LPMAK ?
            Apakah Dana 1% yang diterima, bukan dari PTFI yang sudah membuat KK II yang juga masuk wilayah Paniai dan Puncak Jaya, Wilayah adapt suku Mee, Moni, Wolani, Lani, Damal dan Nduga, sehingga kami tegaskan “Semua Suku dalam Areal KK I dan KK II PT. FI mempunyai hak yang sama menikmati fasilitas yang sama dari Dana 1% tanpa perbedaan yang hanya Mengadu Dombakan masyarakat”, kalau tidak mau mengapa PTFI membuat KK II ? LPMAK terlihat menjadi Penghapus Dosa Oknum tertentu di PTFI, yang memegang Kepala LPMAK (Kebijakan dan Dana 1%), karena terlihat LPMAK hanya menjadi alat dari PTFI,  sehingga diperlukan keterbukaan LPMAK  bahwa dana 1% juga dimanfaatkan oleh Suku Ke – 8 dan dia Mempunyai porsi yang sangat besar, Siapakah dia?

Catatan akhir
Akhirnya beberapa catatan yang dapat di sampaikan adalah:
1.       Pemerintah pusat diminta mengamendemen UU No.1 Tahun 1967 tentang PMA dan UU No.7 Tahun 1967 Tentang Pokok Paertambangan dan  Tinjau ulang KK II PTFI serta KK PTFI haruslah disebut sebagai sebuah kontrak biasa bukan sesuatu yang sacral dan tidak dapat diganggu, yang karena kesakralannya tidak dapat dirubah, bahkan dikatakan setara undang-undang, perlu dicatat bahwa UUD 1945 saja sudah di amandemen, masa sebuah KK tak dapat ditinjau ulang dan perundingannya harus melibatkan perwakilan suku-suku yang daerahnya masuk dalam areal KK II sesuai dengan semangat UU OTSUS agar ditemukan hasil pemecahan yang saling menguntungkan bagi semua stakeholder.
2.  Mendesak Pemerintah pusat agar menabut produk hukum tentang pengamanan pada obyek vital negara termasuk PTFI karena dengan itu areal PTFI pernah dan sedang menjadi tempat terjadinya kekerasan negara melalui aparat keamanan  negara dengan alat negara pada rakyat sipil tak bersalah. Hentikan segala bentuk bantuan materil (dana dan fasilitas) PTFI kepada TNI/POLRI dan juga diminta putuskan hubungan kerjasama Departemen Security PTFI dengan institusi TNI/POLRI untuk pengamanan di wilayah kerja PTFI dan disarankan untuk menambah jumlah security PTFI untuk menggantikannya.
3.   Perlu dilakukan  Audit sosial yang independent yang auditornya terdiri dari para tokoh agama, tokoh masyarakat ,LSM, LMA dan  didampingi oleh Lembaga Auditor Perguruan Tinggi sebagai konsultan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh masyarakat 7 suku di areal KKI dan KKII PTFI dari PTFI dilihat dari semua aspek kehidupan dan menyusun dokumen pengembangan masyarakat.
4.   Pemerintah Pusat diminta mendesak untuk   PTFI meminta memperluas wilayah pelayanannya untuk pengembangan masyarakat  untuk tidak terkonsentrasi di 3 desa di tembagapura tetapi diperluas sampai ke Agimuga dan  daerah Paniai dan Puncak Jaya sebagai areal KKII PTFI dan baik juga kalau dibangun sarana dan prasarana seperti Jalan, Jembatan,  Telekomunikasi dan Penerangan di daerah Paniai dan PuncakJaya.
5. Pemerintah Pusat dan PEMDA Provinsi Papua dan PTFI diminta untuk memperhatikan bahwa sesuai dengan tuntutan bisnis global dan tanggungjawab sosial PTFI terhadap masyarakat areal KK II maka Dana 1% diminta untuk dinaikan menjadi 3% dan dibagi 1%, untuk Kab.Mimika; 1% untuk Kabupaten Paniai; 1% untuk kabupaten Mimika; (Karena 3 daerah ini adalah daerah areal KKI dan II PTFI) atau dinaikan menjadi 7% dan dibagikan kepada 7 suku masing-masing 1%. Dan pengelolaannya diserahkan ke daerah asal dan atau di pusat atau daerah asal suku tersebut.  Dan pengelolaannya oleh Lembaga Adat daerah atau Suku di daerah asal suku,  dalam rangka pemberdayaan Masyarakat Adat Papua.
6. Pimpinan PT. Freeport Indonesia diminta agar melakukan Restruktuisasi pada manajemen PTFI, oknum-oknum tertentu yang tidak mampu membangun hubungan kemitraan yang jelas dan saling menguntungkan antara PTFI dan Masyarakat, yang pada akhirnya membuat jelek citra perusahaan, serta terhadap oknum-oknum tertentu yang membawa  misi tertentu, yang mengakibatkan ketidakstabilan kondisi dan suasana.
7. Beberapa pos penting dalam Top Manajemen PTFI yang berhubungan dengan masyarakat agar diberikan kepada orang Papua yang mempunyai hati untuk mau melayani orang papua bukan yang mau melayani diri sendiri dan kelompoknya,  sehingga tidak tercipta terus struktur sosial “Anak Emas dan Sampah PTFI”

 
Masyarakat Papua sedang menambang secara manual

 
Penambangan raksasa oleh PT Freeport yang meninggal Danau Buatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar