Minggu, 03 Maret 2013

Sistem Budaya Masyarakat Adat Paniai






Sistem Budaya Masyarakat Paniyai Papua
OLEH JOHN GOBAI
Ketua Dewan Adat Paniyai

Pengantar
 Mengawali sebelumnya, kami perkenalkan letak daerah paniai, Kota Enagotadi sebagai Ibukota Kabupaten Paniai terletak di Jalur Pegunungan Tengah dengan ketinggian ± 1.708 M di atas permukaan laut. Jarak antara Nabire melalui jalan darat ± 268 KM. Secara administrasi Kabupaten Paniai berbatasan dengan: Sebelah Utara      ,Kabupaten Waropen, Sebelah Selatan, Kabupaten Mimika, Sebelah Timur, Kabupaten Puncak Jaya, Sebelah Barat, Kabupaten Nabire
Penduduk pribumi di Paniai terdapat beberapa  kelompok etnis yaitu Suku Mee,  Suku Moni/Migani, Suku Wolani,

SISTEM BUDAYA SUKU-SUKU DI PANIYAI
Pemilikan Tanah di Paniyai
Sistem kepemilikan tanah Masyarakat Paniyai menganut paham patrilineal, berarti bahwa pewarisan tanah itu berdasarkan garis keturunan ayah, dan hal itu berlaku untuk semua klan, marga.. Aturan adatnya adalah seseorang tidak bisa masuk ke lokasi orang atau klan lain tanpa seijin klan / marga lain tersebut. Setiap orang masih hidup di atas tanahnya dan berusaha di atas tanahnya. Jadi ada larangan, antara komunitas masyarakat satu etnik sendiri tidak boleh berseberangan tanpa ijin, tanpa sepengetahuan klan pemilik tanah itu,apalagi sudah lain suku. Pelanggaran terhadap larangan ini akan mengganggu tatanan sosial masyarakat. Anak dari saudara perempuan pun tidak boleh mengusahakan / mengerjakan di tempat pamannya. Seorang ipar tidak bisa begitu saja mengelola di tanah milik pihak perempuan.

Pola Pewarisan Tanah
Pola pewarisan tanah seperti tadi merupakan paham patrilineal, yang berarti segala hal yang dimiliki oleh bapak, warisannya itu jatuh langsung kepada anak lelaki; warisan tidak jatuh kepada anak perempuan. Kecuali warisan itu diberikan kepada anak perempuan kalau bapak memiliki seorang anak putri (putri tunggal) atau tidak ada anak laki-laki. Disamping itu klaim atas tanah milik orang lain, yang diberikan karena belas kasihan sejak nenek moyang mereka, secara adat tidak memiliki haknya namun yang berhak atas tanah tersebut adalah tetap  pemilik tanah semula. Namun kecenderungan sekarang adalah klaim tanah oleh kaum pendatang yang hidup lama sekitar enam - tujuh generasi bahwa tanah itu telah menjadi milik mereka. Hal ini secara adat tidak dibenarkan sebab hukum adat selalu berpedoman pada orang siapa yang sudah menetap di situ. Karena itu yang terpenting ialah mencari tahu terlebih dahulu orang yang telah lama menempati wilayah itu, walaupun harus diakui bahwa melacak  manusia enam atau tujuh generasi sebelumnya merupakan pekerjaan antropologis yang sangat tidak mudah.

Pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat lokal
Ketika jumlah penduduk masih sedikit, masyarakat memiliki norma yang berhubungan dengan kebiasaan bertani,  beternak, dan berburu. Norma itu mengatakan bahwa setiap orang harus bekerja di atas wilayah yang telah dipatok sebagai haknya sendiri. Mereka berburu, mencari kayu bakar, mencari kulit kayu harus di atas wilayah yang telah menjadi haknya itu. Untuk mengambil atau mengolah tanah orang lain harus meminta ijin terlebih dahulu. Apabila tidak meminta ijin bisa terjadi perang besar. Pelanggaran-pelanggaran atas norma itu, mereka akan terkena hukum adat (sanksi).



Mata pencaharian dan pembagian kerja
Masyarakat Paniyai adalah  masyarakat pekerja keras. Jadi mereka memiliki sebuah filosofi mengenai kerja, yaitu orang yang tidak kerja tidak boleh diberi makan; hanya orang bekerja yang boleh makan. Itu berarti pengertiannya untuk hidup orang harus kerja; maka hidup itu harus bekerja. Setiap orang baik laki-laki, perempuan, suami, istri, maupun anak harus bekerja. Dengan begitu tentu ada pembagian tugas antara ayah, ibu, anak maupun sanak saudara lainnya. Pembagian tugas ini diatur secara baik. Bagi orang pada jaman dahulu misalnya seorang lelaki bertugas membersihkan lahan, menebang pohon, membuat pagar dan bedengan; sesudah itu istri atau kaum perempuan mencari bibit segala jenis tanaman yang akan ditanam di dalam kebun yang baru dibuka, misalnya bibit nota, bibit keladi, jahe, serta sayuran dan lainnya. Mereka itu tidak hanya mencari bibit tanaman, tetapi sekaligus menanamnya di lahan yang telah disiapkan oleh kaum laki-laki. Sampai memanen tanaman menjadi urusannya kaum perempuan.  Sementara  anak laki-laki lebih cenderung membantu ayahnya sekaligus melatih bekerja sebagai pembekalan bagi masa depan. Sedangkan anak perempuan membantu ibunya secara rutin dan berkelanjutan. Hal ini terjadi pada masa dahulu sebelum adanya pengaruh modernisasi. Dengan demikian  pekerjaan yang dianggap besar dan membutuhkan tenaga, dan biaya tidak sedikit selalu dikerjakan oleh pria. Namun ada pekerjaan tertentu yang harus dikerjakan sendiri oleh pria terutama bagi pekerjaan yang rumit dan mereka bekerja bersama kalau bebannya sudah mulai mengurang.
Sesudah adanya pengaruh modernisasi dan kemajuan  mulai terlihat adanya pergeseran-pergeseran nilai. Pergeseran nilai itu terjadi dimana kaum lelaki dan pemuda/i  angkatan kerja yang produktif mulai mencari pekerjaan di daerah lain/kota dan di kampung / di daerahnya hanya tinggal istri dan anak. Ketika suaminya belum  pulang, kaum perempuan mengambil alih tugas-tugas besar dari lelaki tersebut yakni membuat bedengan dan pagar. Jadi inilah yang sedang terjadi pergeseran nilai.

Jumlah dan Sebaran Suku
Akar dari klan-klan yang ada sekarang ini banyak, misalnya pada masyarakat Mee di Paniai didasarkan pada 4 klan yang ada. Keempat klan yang menjadi klan utama yakni Klan Batu (Mogotuma), Klan Binatang (Jinatuma), Klan Tanah (Makituma), Klan Kuskus (Wodatuma). Kemudian berdasarkan itu dalam perjalanan sejarah klan itu bertambah.. Sekarang tanah dimana masing-masing marga ini tinggal menjadi milik mereka dan terpisah walaupun secara genealogisnya sekian marga tersebut di atas berasal dari nenek moyang yang sama. Di antara klan-klan yang ada itu kini sudah hampir punah, ada beberapa klan yang tinggal tiga orang, empat orang bahkan dua orang. Namun ada klan-klan besar yang jumlahnya mencapai ribuan orang. Klan-klan yang punah tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa hal: pertama, karena tempat tinggalnya rawan penyakit; kedua, karena perang saudara atau antar suku; ketiga karena seleksi hidup atau norma adat, misalnya melanggar prinsip-prinsip hukum adat yang bisa berakhir pada kematian, misalnya mencuri, membunuh, berzinah, dan lain-lain. Ini yang bisa dikategorikan sebagai kutukan karma.

Pola Pemukiman dan Sistem Kesatuan Hidup Setempat
Hal ini sangat terkait antara pemilikan tanah, kepemimpinan, dan struktur sosial. Dalam perkembangannya orang yang menetap di suatu daerah  pasti bertambah banyak. Mereka yang lahir dari keturunan orang ini akan membangun pemukiman di suatu daerah tertentu. Sedangkan orang lain juga demikian sehingga suatu ketika keturunannya membentuk sebuah kampung. Di kampung ini baik keturunan lelaki maupun perempuan tinggal di sekitar itu. Kesatuan sosial yang tergabung karena faktor genealogisnya itu membuat kesatuan tertentu, juga terjadi di lokasi lain dengan marga lain dan lain sebagainya. Jadi masing masing orang dari satu keturunan ini harus hidup berdikari dan mandiri sehingga ketika si anak lelaki atau perempuan kawin, sebelumnya ia harus membangun rumah di sekitar sanak saudaranya. Dalam kebiasaan orang Paniyai ada rumah laki-laki yang disebut Ema (Mee), Nduni (Moni), Ndone (Wolani). sementara kaum perempuan memiliki rumah sendiri yang disebut Gebou.  Berarti di sini ada satu kelompok masyarakat dan di sana juga ada satu kelompok masyarakat di salah satu dusun, kemudian lama-kelamaan mereka disebut satu kesatuan sosial dengan mengadakan kontak sosial termasuk menjalin relasi kekerabatan. Dari situ akan tampak siapa di antara mereka yang mampu segalanya termasuk berbicara, membantu, dan sebagainya. Karena itu berdasarkan prestasi dan dedikasinya  akan  muncul  seorang pemimpin.
Namun ada juga dalam masyarakat yang relasi sosialnya tinggi seluruh dinamika hidupnya selalu dikendalikan oleh seseorang yang dianggap tertua di antara mereka. Termasuk juga pemilikan harta kekayaan keluarga mereka. Orang tersebut selalu dijadikan sebagai panutan mereka. Seluruh pengambilan keputusan akhir selalu berada di tangan tetua mereka. Namun hal ini terjadi dalam lingkaran terbatas.

Sistem Kekerabatan dan Prinsip Keturunan
Sistem kekerabatan di daerah paniyai sangat erat, Misalnya orang Mee terdiri dari empat klan tadi. Seluruh klan yang berasal dari sub suku  yang sama ini  merasa satu keluarga atau kerabat. Kemudian orang satu marga seperti di Suku Mee Marga Mote; ada sub marga yaitu Bidau, Giyaikoto, Umagopa dan Adagopa, Walaupun kehidupan mereka saling berjauhan namun karena sama-sama mote mereka selalu menganggap bahwa mereka adalah satu keluarga atau satu leluhur. Sampai generasi ke-7 atau ke-10 pun menganggapnya sebagai satu keluarga. Walaupun demikian yang menjadi persoalan adalah menurut adat sampai pada generasi tertentu (ke-8) orang boleh kawin itu, kalau dibandingkan dengan peraturan pemerintah berbeda sebab sampai pada generasi ke-4 juga masih diperbolehkan. Prinsip ini dengan maksud supaya mereka bisa tetap menjaga tali kekerabatan. Ada nilai politisnya bahwa di atas keturunan yang ke tujuh pun orang boleh kawin untuk menjaga atau mempererat kekerabatan di antara mereka yang telah lama terjalin. Dengan demikian memperlebar jaringan ekonomi dan politisnya sewaktu-­waktu jika terjadi persoalan besar yang membutuhkan bantuan pihak lain.

Sistem stratifikasi sosial ( Pelapisan Sosial)
Masyarakat Paniyai adalah masyarakat tidak mengenal strata sosial. Walaupun belum ada strata berdasarkan keturunan  yang disebut kelompok "darah biru", ada strata berdasarkan prestasi kerja, misalnya karena bekerja memiliki babi lebih banyak di antara yang lain atau Mege atau kigi (kulit kerang) alat tukar-menukar lebih banyak daripada yang lain. Status sosial lebih tinggi dapat dilihat dari pemupukan kekayaan yang berlimpah di daerah tertentu dibandingkan orang lainnya. Maka ada kaum elit yang disebut Tonowi,Sonowi diikuti oleh kaum menengah, dan masyarakat kelas bawah. Status ekonomi dalam masyarakat Paniyai juga mendukung status sosialnya berarti bahwa para kaum elit memiliki jaringan kerja dan hubungan dengan kaum elit, sedangkan kelas menengah pun menjalin hubungan dengan mereka, sedangkan kelas bawah lebih banyak berhubungan dengan rakyat kecil yang notabone terbanyak jumlahnya. Tetapi ada juga sejumlah pengikut di masing-masing kelas.
Ada beberapa peranan yang dimainkan oleh masing-masing kelas. Seorang yang dianggap sebagai elit di wilayah itu akan berinteraksi dengan seorang elit dari daerah lainnya, Walaupun tempat kedudukan mereka sangat berjauhan. Misalnya ketika awal orang Papua Gunung berinteraksi dengan kaum pendatang di tahun 1936-39 di Paniai, 1950-an di Wamena, 1950-an wilayah Amungsa Misalnya di Paniai, Weyakebo Mote salah seorang elit dari wilayah Tigi selalu berkontak dengan Tadiki Zonggonau dari daerah Paniai, juga kontak dengan Auki Tekege dari daerah Mapia untuk berbicara dan mengikuti reaksi para kaum pendatang tersebut. Hal ini bukan berarti mereka memutuskan mata rantai sosial, dalam kehidupannya mereka selalu berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai strata yang ada di wilayah itu, hanya keputusan-keputusan politik terpentinglah yang sangat dipengaruhi oleh seorang elit di daerah itu. Ada satu hal yang terpenting di balik semuanya itu adalah bukan status sosialnya yang dimiliki oleh masyarakat, namun hubungan kemanusiaan yang terbangun secara rapi dan keharmonisan hidup di antara masyarakat.

Sistem Pengendalian Sosial
Orang yang menduduki strata sosial paling atas itu biasanya disebut sebagai pemimpin. Mereka memperoleh status Tonowi (dalam Suku Mee), Sonowi (dalam Suku Moni), Disebut Tonowi,Sonowi karena memiliki kekayaan yang berlimpah dan relasi sosial yang dibangun juga cukup luas. Kemudian seseorang disebut Tonowi atau Sonowi, bukan karena hanya memiliki kekayaan namun yang lebih penting juga adalah bijaksana dalam memutuskan perkara. Misalnya pengambilan keputusan atas persoalan anak kandungnya, apabila ia membela matian-matian  anaknya  telah terbukti bersalah berarti ia bukan Tonowi atau Sonowi Jadi pengambilan keputusan tertinggi berada pada seorang pemimpin yang bijaksana dalam menilai persoalan. Seorang Tonowi atau Sonowi itu adalah seorang yang mampu membedakan antara yang baik dan buruk,  bernilai dan tidak bernilai, yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Itu figur pemimpin dalam konsep berpikirnya orang Paniyai. Jadi dia Tonowi dan Sonowi dalam harta, berfikir, bersikap, dan berbicara. Salah satu idealisme orang Paniyai adalah  menjadi Tonowi dan Sonowi baik secara lahiriah maupun rohaniah. Dan Tonowi-Tonowi dan Sonowi inilah yang biasanya menyelesaikan persoalan termasuk konflik sosial yang timbul di kalangan  Paniyai  sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang yang berasal dari lain suku, termasuk para kaum pendatang. Bilamana dalam kehidupan orang paniyai itu terjadi bentrok misalnya disebabkan oleh  masalah utang piutang, kesalahpahaman, kekeluargaan, perempuan, kekayaan, dan sebagainya akan diselesaikan oleh orang yang dituakan yaitu orang yang dapat berpikir secara baik.  Di setiap kampung, marga, dan komunitas selalu ada  orang yang dituakan dengan ciri seperti itu.  Dengan demikian tidak ada konsensus bersama antara suara mayoritas dan minoritas dan  kalau sampai orang tidak bisa membuktikan lalu menggunakan dukun, dalam suku mee salahsatunya disebut upacara Baagapi. Baagapi adalah salah satu tindakan  terakhir yang diambil untuk membuktikan letak persoalan yang sebenarnya.  Orang-orang bijak yang ada di masyarakat itu pada umumnya  pandai melihat letak persoalan tersebut.

Hubungan Sosial pada Masyarakat Lokal dengan Lainnya
Orang menyebut dirinya orang Mee karena semua masyarakat yang ada dari kegata sampai makataka. Moni karena bermukim di wilayah adat moni dari gunung gergaji sampai dumadama, masing-masing mempunyai   mempunyai cara berbusana yang sama, mereka tinggal di atas tanah yang oleh leluhurnya diakui sebagai tanah nenek moyang, karena mereka mempunyai satu dasar hukum adat yang sama dan Masing-masing masyarakat adat itu  memiliki hukum adat yang sama dan mereka menganggap daerah mereka bersih, kudus, dan suci. Anggapan itu sekaligus mengandung anggapan bahwa suku lainnya merupakan manusia yang tidak setara dengan mereka. Nilai-nilai yang berlaku di dalam sukunya sendiri dianggap berlaku secara universal, sehingga nilai-nilai suku sendiri itulah yang harus dijadikan sebagai patokan bagi suku lainnya. Jadi penyebutan manusia atau penghargaan terhadap orang lain itu muncul kalau berperilaku, berwatak, dan bergaya hidup seperti sukunya. Prinsip itu dipegang oleh semua suku yang ada. Misalnya  Tillemens, salah seorang Pastor Belanda, ketika pertama kali masuk di Paniai dia diberi makanan dan minuman yang mereka makan.Hal itu dimaksudkan untuk membuktikan apakah ia adalah manusia atau bukan. Apabila bisa memakan makanan yang mereka sajikan,  ia akan dianggap sebagai manusia. Ternyata dia berperilaku dan bergaya seperti manusia. Dia bisa makan apa yang mereka makan, dia bisa pikirkan apa yang mereka pikirkan, dia bisa tidur ketika malam hari. Hal inilah yang memudahkan untuk menerimanya walaupun secara emo-biologisnya berbeda dari masyarakat setempat.


Sistem nilai masyarakat lokal terhadap alam
Dalam pemahaman budaya suku-suku di Paniyai, nilai manusia itu sangat tinggi, setiap orang harus merebut kemanusiaannya. Setiap orang harus berjuang menjadi manusia sempurna, karena itu tidak ada yang membenarkan bagi setiap manusia untuk memperlakukan orang lain sebagai binatang. Atas dasar nilai yang mereka pegang itu, mereka memiliki prinsip  apa yang tidak ingin orang lain lakukan kepada saya, tidak boleh melakukan hal itu juga kepada orang lain. Nilai manusia itu sangat tinggi, sehingga  ada nasehat bahwa setiap orang harus menjadikan akal budinya sebagai kakak di dalam tingkah laku hidup. Kalau setiap orang selalu menggunakan akal budinya, pasti seluruh kehidupannya harmonis, selaras, baik, dan tidak ada pertikaian, permusuhan dan peperangan. Apabila hal-hal negatif itu terjadi lebih banyak disebabkan oleh kelalaian manusia.
Pandangan orang Paniyai terhadap alam memperlihatkan bahwa tanah ini adalah mama (ibu), sebab kita hidup di atas dia. Segala makhluk hidup termasuk manusia tidak ada nilainya dan tidak berarti kalau tanpa ada tanah. Dan begitu pula tanah ini tidak berfungsi kalau tanpa sentuhan tangan manusia. Orang Paniyai menganggap ibu karena ubi, keladi yang dianggap kebutuhan pokok bagi mereka selalu bersumber dari tanah. Tanah itu dianggap nilai yang paling berharga, karena itu tanah harus dinikmati dan tidak boleh dijualbelikan kepada siap saja, tidak boleh dirusak, dikotori, dan lain-lain. Sebab di atas tanah orang Paniyai hidup, tumbuh dan berkembang sampai akhirnya kembali ke tanah ketika mereka meninggal.

Sistem nilai masyarakat lokal terhadap hidup
Orang Paniyai memiliki anggapan bahwa hidup itu penting dan kerena itu mereka sangat menghargainya. Ketika perkawinan orang membayar mas kawin dan mengucapkan  syukur atas perkawinan ini; ketika  anaknya lahir mereka bersyukur; ketika menyelenggarakan upacara adat inisiasi atau upacara pendewasaan anak mereka memberikan kurban syukur; ketika orang meninggal pun ada kurban. Hal itu berarti bahwa setiap bagian atau fase penting dari kehidupan manusia  orang perlu berdoa. Kemudian selama hidup ini, orang tidak boleh jauh dari hukum adat yang ada, sebab ia berpedoman amanat dari perjalanan hidup manusia. Dan babi itu sahabat teman yang mampu dengan rela mengorbankan diri demi keselamatan manusia. Dahulu kala ada orang tua - orang tua yang bergerak di atas hukum adat. Karena itu banyak mukjizat yang terjadi, misalnya rela mengorbankan diri demi keselamatan manusia dan ada orang mengembara ribuan kilo meter dalam waktu satu jam, dan sebagainya. Selama hidupnya, orang berusaha menjadi sempurna.

Penutup
Masyarakat adat paniai adalah masyarakat yang  beradat dan telah terbukti bahwa karena adat tersebut pada jaman  dahulu mereka dapat hidup dengan serasi dan teratur, tetapi kehadiran era globalisasi yang membawa pengaruh yang beraneka ragam telah menggeser nilai-nilai dan norma-norma adat itu, dia pun tidak mendapat tempat yang layak, sehinnga dapat disimpulkan bahwa masyarakat ini sedang ada dalam suasana Shock Culture. Oleh karena itu perlu ada filter dari masyarakat itu sendiri serta terobosan dari pemerintah dan tokoh agama serta tokoh masyarakat untuk melindungi dan melestarikan budaya yang baik serta melawan dan perlahan-lahan mengikis budaya yang merugikan masyarakat paniai. Perlu diingat bahwa, masyarakat adat paniai adalah masyarakat yang pragmatis, selalu mengharapkan adanya keserasian antara kata dan perbuatan, mereka juga mau ditegur atau dipersalahkan kalau memang salah tetapi sulit menerima kalau dipersalahkan padahal mereka merasa tidak bersalah.
                                                                                                Koyao……..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar