Pemberdayaan Masyarakat Berpola Ekonomi Owaada
Oleh Benny
Makewa Pigay,SE
Kita semua melalui orang tua bahwa Agama dan Pemerintah
masuk ke daerah Pegunugan Tengah Paniai melalui dan diatas nilai-nilai luhur
social dan ekonomi, dia hadir diatas nilai itu dan berkembang diatas, dan kita
juga dibentuk diatas itu.
Tetapi mengapa nilai-nilai itu
hancur salah satu penyebab adalah hancurnya nilai-nilai budaya dan juga ada
penyebab-penyebab lain. Penyebab itu antara lain datang dari dalam dan juga ada
yang datang dari dalam masyarakat.
Masalah-masalah yang menyebabkan adanya hambatan dalam
dan juga dari luar, karena ada masalah yang kami ciptakan sendiri oleh kita
untuk menghancurkan jati diri kita sendiri, dan juga ada hal yang datang dari
luar. Sejak Papua bergabung dengan Indonesia, daerah ini diatur dengan pola
ekonomi yang diatur oleh Soekarno, ia membuka PD.Irian Bakti, masyarakat
menerima karena masuknya melalui pola yang pernah dipakai oleh Belanda, dimana
pada saat itu masyarakata pergi membeli barang di tempat PD.Irian Bakti tersebut
hal ini merupakan upaya sadar Presiden Soekarno agar masyarakat menerima
ekonomi Pancasila, tetapi model ekonomi ini memberikan kebebasan kepada masyarakat
untuk dapat mendirikan CV/PT dan Koperasi, hal ini memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk bersaing secara tidak sehat, hal ini membuat orang Papua
lumpuh, tidak dapat berjalan secara ekonomi. Yang kedua, trauma DOM (Daerah
Operasai Militer) di Paniai, karena adanya upaya penyisiran terhadap TPN/OPM
oleh ABRI, maka terkadang membuat menjadi takut untuk bekerja di kebunnya,
karena takut akan dipukul atau di interogasi, yang ketiga, Dalam Pemerintah Suharto, rencana
Pembangunan 25 tahun diharapkan masyarakat akan mencapai masyarakat tinggal
landas, tetapi kenyataannya hanya janji-janji palsu, pada akhirnya pada tahun
1998, beliau lengser dari jabatannya yang berikutnya kita punya pejabat asli
Papua juga mempunyai sifat seperti itu, kita punya pejabat Papua tetapi mereka
berhati Jawa, Batak, dan berhati orang lain.
Pada waktu pemerintahan Gubernur Fredi Numberi, beliau
bertekat membangun birokrasi semua adalah orang Papua, tetapi tidak dilakukan.
Sekarang pada masa kepemimpinan Gunernir Barnabas Suebu,
dengan konsep membangun Papua Baru apapun model Pemberdayaan dipakai kemiskinan
akan berjalan terus, tetapi kalau Suebu (Gubernur) ingin
membangun/memberdayakan masyarakat Mee maka harus menggunakan konsep
Pemberdayaan ekonomi Owaada dan kalau untuk membangun orang mari menggunakan
ekonomi nduni atau wamuja untuk membangun orang moni, kalau membangun orang dani
dengan pola ekonomi pilamo.
Kalau dilihat program TURKAM Gubernur Bas Suebu itu hanya
janji-janji palsu, 100t- juta yang diberikan tidak akan memberikan hasil yang
sangat berartu. Pada masa kepemimpinan Yannuarius Douw dengan motto Aweta Ko
Enaa Agapida, pada masa itu beliau tidak pernah memberdayakan Lembaga Adat,
karena hal-hal ini harus dibicarakan oleh lembaga adat tetapi berhasil
menyiapkan kader. Pada jaman ini kami berada pada era kepemimpinan dengan visi
Menuju Paniai Baru, sekarang menjadi pertanyaan bahwa Aweta Ko Enaa Agapida dan
Paniai Baru ini untuk siapa?
Dalam situasi seperti ini kita diperhadapkan pada suatu
situasi dimana kita mau memberdayakan masyarakat dengan pola budaya, agar
membangun dirinya sendiri, dengan birokrasi yang dipenuhi oleh orang-orang yang
bukan asli Paniai dan tidak memahami budaya Paniai. Orang Paniai sedang
diberikan makan oleh saudara-saudara pendatang, kita diberi ikan, sayur, dll
dari mereka yang datang, telah menjadi tuan rumah di Paniai. Sedangkan kita
yang asli menjadi tamu dirumah kita sendiri.
Oleh karena itu kita bicarakan tentang pemberdayaan
masyarakat, jika kita mau mengembangkan masyarakat maka haruslah dimulai dari
dan diatas budayanya, seorang Filsuf dari komunis pernah berkata jika ingin menghancurkan
sebuah bangsa maka hancurkan dulu budayanya. Masalah-masalah sedang terjadi
karena kita telah lupa dengan budaya kita sendiri, saat ini kita sedang dalam
krisis hidup. Mari kita lihat gerakan ekonomi pendatang yang selalu
kita lihat mereka berhasil. Hal yang pertama, harus kita pikirkan sekarang ini
kami berada pada posisi apa? Kita harus jujur bahwa selama ini kami sedang
terkurung tetapi kami tidak bisa tinggal diam begitu saja, tetapi kami harus
mencari tahu bagaimana caranya agar kami dapat keluar dari kurungan ini.
Pemberdayaan Masyarakat haruslah dibuat sebaik mungkin
agar dapat menjadi berkat bagi masyarakat bukan menjadi kutukan bagi
masyarakat. Dalam melakukan Pemberdayaan Masyarakat terdapat juga
gerakan-gerakan yang menghambat:
a)
Membanding usaha-usaha milik masyarakat pribumi, ada
beberapa kios dihancur oleh masyarakat yang dibayar oleh pihak lain.
b) Masyarakat
dihinabobokan dengan beras JPS. JPS itu baik, tetapi membuat orang jadi malas
kerja, BBM.
c)
Tanah-tanah dikampung banyak tumbuh rumput.
d) Pegawai
pribumi jika membuat cros selalu dikatakan korupsi, Pejabat ini cari uang,
dengan ini kita sedang saling menjatuhkan.
e)
Kami disebut sebagai buaya-buaya hidup, kami membeli yang
terbaik, penyetor yang terbaik, tetapi kami disebut buaya-buaya hidup, karena
kami membeli dan konsumsi ayam potong. Kedepan apa yang harus kita buat agar
kami disebut buaya-buaya hidup.
f) Banyak saudara kita yang membangun istana di Paniai
dengan menguasai perekonomian dan perdagangan, sedang kita hanya buat saling
menjatuhkan antara satu orang dengan orang lain.
g) Kita
orang Paniai adalah seorang penjual yang sangat murah hati ditanah Papua, kalau
pedagang asli menjual saudara-saudara pendatang tidak membeli, mereka
mendatangkan sayur dari luar Paniai, ini suatu cara penjajahan ekonomi karena
tidak laku mereka bawah pulang nota. Ada juga masyarakat kalau ditawar oleh
sesama orang Paniai mereka tidak mau tetapi, kalau ditawar oleh saudara lain
mereka dengan terbuka akan memberinya.
Orang Paniai menindas orang Paniai masalah yang umum
terkait dengan ekonomi di Paniai adalah jaring penghubung itu bolong, sehingga
masuk ke jaring pendatang, jaring yang saya maksudkan adalah Usaha Ekonomi karena
tidak ada Usaha Ekonomi maka uang yang beredar tidak tertangkap baik oleh
masyarakat tetapi oleh pendatang.
Dengan kondisi seperti ini apa yang kita bisa berbuat
untuk hidup kita, kita tidak bisa berbuat banyak tetapi kita kembali kepada
Emawa/Nduni/Ndone karena ditempat ini menurut orang tua berfikir merencanakan
dan melaksanakan segala aspek kehidupan.
Sekarang bagaimana kita mengangkat pembangunan yang
berpola budaya? Pada tahun 2005 kami telah menawarkan pola ekonomi Owaada dalam
pmerintah Paniai, tetapi sekarang tidak jalan tetapi syukur karena Gereja
Katholik sudah mengangkat pikiran itu melalui Musyawarah Pastoral (MUSPAS)
diWagethe dan ISSP sedang mengangkat pemberdayaan Owaada. Pola ini akan menjadi
pola pemberdayaan masyarakat Paniai/model Pemberdayaan akar rumput pola ini
langsung kepada pemberdayaan ekonomi keluarga, karena menanami bunga-bunga
hidup, sehingga pola ini bisa menjadi pola Pemberdayaan Papua secara umum,
karena sudah ada dua lembaga telah mengangkat, kalau ini kita kembangkan
menjadi Lembaga Ekonomi Rakyat (LER), sama seperti dahulu dibuat oleh Indonesia
dengan pola koperasi.
Pengembangan Owaada dan Wamuja haruslah menjadi pilihan
untuk Pemberdayaan Ekonomi masyarakat, pemberdayaan itu haruslah dilakukan oleh
sebuah lembaga yang menerapkan SISTEM SIMPAN PINJAM. Pola simpan pinjam ini
masyarakat meminjam kepada kelompok sebesar Rp.100.000 dengan bunga Rp.20.000
dan digunakan sesuai dengan kebutuhan: memelihara ayam, buat kebun, atau apa
saja dengan itu dia membangun Owaadanya, dia bangun kebunnya, bangun Firdaus
kecil dirumahnya, kita harus tahu tidak ada suku lain yang sama seperti suku
Mee/Ekagi. . . Firdaus yang dulu dikenal itu ada di Owaada, oleh karena itu
Owaada adalah Firdaus yang kecil bagi masing-masing keluarga. Disitu Allah
Hadir untuk manusia, sehingga wajar kalau sekarang cara berfikir kita tidak
seperti dulu karena tempat mengambil/fikiran sudah tidak ada, Firdaus kecil
atau Owaada sudah tidak ada, ekonomi hancur karena Owaada tidak ada, karena
kita harus bangun Owaada dikeluarga kita masing-masing, kalau kita bisa bangun
maka kita bisa menjadi tuan dikampung kita sendiri. Hal ini kalau tidak
dilakukan akan menjadi kegagalan dari Lembaga Adat, Agama dan Pemerintah dalam
memberdayakan masyarakatnya. Dalam rangka Pemberdayaan maka pemerintah
berkewajiban untuk memberdayakan gereja dan lembaga adat dengan memberikan dana
secukupnya untuk sekolah ISSP siap untuk memberikan pendampingnya yang
secukupnya sehingga tercapainya konsep antara Gereja, Adat dan Pemerintah dalam
rangka Pemberdayaan ekonomi Rakyat berpola Owaada/Waluja, disitalah dapat
diangkat budaya kerja yang benar, tepat sasaran dan tepat guna, karena kami
ditempatkan oleh Tuhan ditempat yang bergunung-gunung ini untuk bekerja, tetapi
budaya kerja sudah luntur.
Makalah disampaikan dalam Seminar Pngembangan Masyarakat berpola budaya, yang diselenggarakan oleh Dewan Adat Paniai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar