OLEH
JOHN GOBAI
Ketua
Dewan Adat Paniyai
Pengantar
Mengawali sebelumnya, kami perkenalkan letak
daerah paniai, Kota Enagotadi sebagai Ibukota Kabupaten Paniai terletak di
Jalur Pegunungan Tengah dengan ketinggian ± 1.708 M di atas permukaan laut. Jarak
antara Nabire melalui jalan darat ± 268 KM. Secara administrasi Kabupaten
Paniai berbatasan dengan: Sebelah Utara ,Kabupaten
Waropen, Sebelah Selatan, Kabupaten Mimika, Sebelah Timur, Kabupaten Puncak
Jaya, Sebelah Barat, Kabupaten Nabire
Penduduk
pribumi di Paniai terdapat beberapa
kelompok etnis yaitu Suku Mee, Suku Moni/Migani, Suku Wolani,
SISTEM
BUDAYA SUKU-SUKU DI PANIYAI
Pemilikan Tanah di Paniyai
Sistem
kepemilikan tanah Masyarakat Paniyai menganut paham patrilineal, berarti bahwa
pewarisan tanah itu berdasarkan garis keturunan ayah, dan hal itu berlaku untuk
semua klan, marga.. Aturan adatnya adalah seseorang tidak bisa masuk ke lokasi
orang atau klan lain tanpa seijin klan / marga lain tersebut. Setiap orang
masih hidup di atas tanahnya dan berusaha di atas tanahnya. Jadi ada larangan,
antara komunitas masyarakat satu etnik sendiri tidak boleh berseberangan tanpa
ijin, tanpa sepengetahuan klan pemilik tanah itu,apalagi sudah lain suku.
Pelanggaran terhadap larangan ini akan mengganggu tatanan sosial masyarakat.
Anak dari saudara perempuan pun tidak boleh mengusahakan /
mengerjakan di tempat pamannya. Seorang ipar tidak bisa begitu saja mengelola
di tanah milik pihak perempuan.
Pola Pewarisan Tanah
Pola
pewarisan tanah seperti tadi merupakan paham patrilineal, yang berarti segala
hal yang dimiliki oleh bapak, warisannya itu jatuh langsung kepada anak lelaki;
warisan tidak jatuh kepada anak perempuan.
Kecuali warisan itu diberikan kepada anak perempuan kalau bapak memiliki
seorang anak putri (putri tunggal) atau tidak ada anak laki-laki. Disamping itu
klaim atas tanah milik orang lain, yang diberikan karena belas kasihan sejak
nenek moyang mereka, secara adat tidak memiliki haknya namun yang berhak atas
tanah tersebut adalah tetap pemilik
tanah semula. Namun kecenderungan sekarang adalah klaim tanah oleh kaum
pendatang yang hidup lama sekitar enam - tujuh generasi bahwa tanah itu telah
menjadi milik mereka. Hal ini secara adat tidak dibenarkan sebab hukum adat
selalu berpedoman pada orang siapa yang sudah menetap di situ. Karena itu yang
terpenting ialah mencari tahu terlebih dahulu orang yang telah lama menempati
wilayah itu, walaupun harus diakui bahwa melacak manusia enam atau tujuh generasi sebelumnya
merupakan pekerjaan antropologis yang sangat tidak mudah.
Pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat lokal
Ketika jumlah
penduduk masih sedikit, masyarakat memiliki norma yang berhubungan dengan
kebiasaan bertani, beternak, dan
berburu. Norma itu mengatakan bahwa setiap orang harus bekerja di atas wilayah
yang telah dipatok sebagai haknya sendiri. Mereka berburu, mencari kayu bakar,
mencari kulit kayu harus di atas wilayah yang telah menjadi haknya itu. Untuk
mengambil atau mengolah tanah orang lain harus meminta ijin terlebih dahulu.
Apabila tidak meminta ijin bisa terjadi perang besar. Pelanggaran-pelanggaran
atas norma itu, mereka akan terkena hukum adat (sanksi).
Mata pencaharian dan pembagian kerja
Masyarakat Paniyai
adalah masyarakat pekerja keras. Jadi
mereka memiliki sebuah filosofi mengenai kerja, yaitu orang yang tidak kerja
tidak boleh diberi makan; hanya orang bekerja yang boleh makan. Itu berarti
pengertiannya untuk hidup orang harus kerja; maka hidup itu harus bekerja.
Setiap orang baik laki-laki, perempuan, suami, istri, maupun anak harus
bekerja. Dengan begitu tentu ada pembagian tugas antara ayah, ibu, anak maupun
sanak saudara lainnya. Pembagian tugas ini diatur secara baik. Bagi orang pada
jaman dahulu misalnya seorang lelaki bertugas membersihkan lahan, menebang
pohon, membuat pagar dan bedengan; sesudah itu istri atau kaum perempuan
mencari bibit segala jenis tanaman yang akan ditanam di dalam kebun yang baru
dibuka, misalnya bibit nota, bibit keladi, jahe, serta sayuran dan lainnya. Mereka itu tidak hanya
mencari bibit tanaman, tetapi sekaligus menanamnya di lahan yang telah
disiapkan oleh kaum laki-laki. Sampai memanen tanaman menjadi urusannya kaum
perempuan. Sementara anak laki-laki lebih cenderung membantu
ayahnya sekaligus melatih bekerja sebagai pembekalan bagi masa depan. Sedangkan
anak perempuan membantu ibunya secara rutin dan berkelanjutan. Hal ini terjadi
pada masa dahulu sebelum adanya pengaruh modernisasi. Dengan demikian pekerjaan yang dianggap besar dan membutuhkan
tenaga, dan biaya tidak sedikit selalu dikerjakan oleh pria. Namun ada
pekerjaan tertentu yang harus dikerjakan sendiri oleh pria terutama bagi
pekerjaan yang rumit dan mereka bekerja bersama kalau bebannya sudah mulai
mengurang.
Sesudah adanya
pengaruh modernisasi dan kemajuan mulai
terlihat adanya pergeseran-pergeseran nilai. Pergeseran nilai itu terjadi
dimana kaum lelaki dan pemuda/i angkatan
kerja yang produktif mulai mencari pekerjaan di daerah lain/kota dan di kampung / di daerahnya hanya
tinggal istri dan anak. Ketika suaminya belum
pulang, kaum perempuan mengambil alih tugas-tugas besar dari lelaki
tersebut yakni membuat bedengan dan pagar. Jadi inilah yang sedang terjadi
pergeseran nilai.
Jumlah dan Sebaran Suku
Akar dari klan-klan
yang ada sekarang ini banyak, misalnya pada masyarakat Mee di Paniai didasarkan
pada 4 klan yang ada. Keempat klan yang menjadi klan utama yakni
Klan Batu (Mogotuma), Klan Binatang (Jinatuma), Klan Tanah (Makituma), Klan Kuskus (Wodatuma). Kemudian berdasarkan itu
dalam perjalanan sejarah klan itu bertambah.. Sekarang tanah dimana
masing-masing marga ini tinggal menjadi milik mereka dan terpisah walaupun
secara genealogisnya sekian marga tersebut di atas berasal dari nenek moyang
yang sama. Di antara klan-klan yang ada itu kini sudah hampir punah, ada beberapa
klan yang tinggal tiga orang, empat orang bahkan dua orang. Namun ada klan-klan
besar yang jumlahnya mencapai ribuan orang. Klan-klan yang punah tersebut
mungkin disebabkan oleh beberapa hal: pertama, karena tempat tinggalnya rawan penyakit; kedua, karena perang saudara atau antar suku; ketiga karena
seleksi hidup atau norma adat, misalnya melanggar prinsip-prinsip hukum adat
yang bisa berakhir pada kematian, misalnya mencuri, membunuh, berzinah, dan
lain-lain. Ini yang bisa dikategorikan sebagai kutukan karma.
Pola Pemukiman dan Sistem Kesatuan Hidup Setempat
Hal ini sangat
terkait antara pemilikan tanah, kepemimpinan, dan struktur sosial. Dalam
perkembangannya orang yang menetap di suatu daerah pasti bertambah banyak. Mereka yang lahir
dari keturunan orang ini akan membangun pemukiman di suatu daerah tertentu.
Sedangkan orang lain juga demikian sehingga suatu ketika keturunannya membentuk
sebuah kampung. Di kampung ini baik keturunan lelaki maupun perempuan tinggal
di sekitar itu. Kesatuan sosial yang tergabung karena faktor genealogisnya itu
membuat kesatuan tertentu, juga terjadi di lokasi lain dengan marga lain dan
lain sebagainya. Jadi masing masing orang dari satu keturunan ini harus hidup
berdikari dan mandiri sehingga ketika si anak lelaki atau perempuan kawin,
sebelumnya ia harus membangun rumah di sekitar sanak saudaranya. Dalam
kebiasaan orang Paniyai ada rumah laki-laki yang disebut Ema (Mee), Nduni
(Moni), Ndone (Wolani). sementara kaum perempuan memiliki rumah sendiri yang
disebut Gebou.
Berarti di sini ada satu
kelompok masyarakat dan di sana
juga ada satu kelompok masyarakat di salah satu dusun, kemudian lama-kelamaan
mereka disebut satu kesatuan sosial dengan mengadakan kontak sosial termasuk
menjalin relasi kekerabatan. Dari situ akan tampak siapa di antara mereka yang
mampu segalanya termasuk berbicara, membantu, dan sebagainya. Karena itu
berdasarkan prestasi dan dedikasinya
akan muncul seorang pemimpin.
Namun ada juga dalam
masyarakat yang relasi sosialnya tinggi seluruh dinamika hidupnya selalu
dikendalikan oleh seseorang yang dianggap tertua di antara mereka. Termasuk
juga pemilikan harta kekayaan keluarga mereka. Orang tersebut selalu dijadikan
sebagai panutan mereka. Seluruh pengambilan keputusan akhir selalu berada di
tangan tetua mereka. Namun hal ini terjadi dalam lingkaran terbatas.
Sistem Kekerabatan dan Prinsip Keturunan
Sistem kekerabatan
di daerah paniyai sangat erat, Misalnya orang Mee terdiri dari empat klan tadi.
Seluruh klan yang berasal dari sub suku yang sama ini
merasa satu keluarga atau kerabat. Kemudian orang satu marga seperti di
Suku Mee Marga Mote; ada sub marga yaitu Bidau, Giyaikoto, Umagopa dan Adagopa,
Walaupun kehidupan mereka saling berjauhan namun karena sama-sama mote mereka
selalu menganggap bahwa mereka adalah satu keluarga atau satu leluhur. Sampai
generasi ke-7 atau ke-10 pun menganggapnya sebagai satu keluarga. Walaupun
demikian yang menjadi persoalan adalah menurut adat sampai pada generasi
tertentu (ke-8) orang boleh kawin itu, kalau dibandingkan dengan peraturan
pemerintah berbeda sebab sampai pada generasi ke-4 juga masih diperbolehkan.
Prinsip ini dengan maksud supaya mereka bisa tetap menjaga tali kekerabatan. Ada nilai politisnya
bahwa di atas keturunan yang ke tujuh pun orang boleh kawin untuk menjaga atau
mempererat kekerabatan di antara mereka yang telah lama terjalin. Dengan
demikian memperlebar jaringan ekonomi dan politisnya sewaktu-waktu jika
terjadi persoalan besar yang membutuhkan bantuan pihak lain.
Sistem stratifikasi sosial ( Pelapisan Sosial)
Masyarakat Paniyai
adalah masyarakat tidak mengenal strata sosial. Walaupun belum ada strata
berdasarkan keturunan yang disebut
kelompok "darah biru", ada
strata berdasarkan prestasi kerja, misalnya karena bekerja memiliki babi lebih
banyak di antara yang lain atau Mege atau kigi (kulit kerang) alat
tukar-menukar lebih banyak daripada yang lain. Status sosial lebih tinggi dapat
dilihat dari pemupukan kekayaan yang berlimpah di daerah tertentu dibandingkan
orang lainnya. Maka ada kaum elit yang disebut Tonowi,Sonowi diikuti oleh kaum
menengah, dan masyarakat kelas bawah. Status
ekonomi dalam masyarakat Paniyai juga mendukung status sosialnya berarti bahwa
para kaum elit memiliki jaringan kerja dan hubungan dengan kaum elit, sedangkan
kelas menengah pun menjalin hubungan dengan mereka, sedangkan kelas bawah lebih
banyak berhubungan dengan rakyat kecil yang notabone terbanyak jumlahnya.
Tetapi ada juga sejumlah pengikut di masing-masing kelas.
Ada beberapa peranan yang dimainkan oleh
masing-masing kelas. Seorang yang dianggap sebagai elit di wilayah itu akan
berinteraksi dengan seorang elit dari daerah lainnya, Walaupun tempat kedudukan
mereka sangat berjauhan. Misalnya ketika awal orang Papua Gunung berinteraksi
dengan kaum pendatang di tahun 1936-39 di Paniai, 1950-an di Wamena, 1950-an
wilayah Amungsa Misalnya di Paniai, Weyakebo Mote salah seorang elit dari
wilayah Tigi selalu berkontak dengan Tadiki Zonggonau dari daerah Paniai, juga
kontak dengan Auki Tekege dari daerah Mapia untuk berbicara dan mengikuti
reaksi para kaum pendatang tersebut. Hal ini bukan berarti mereka memutuskan
mata rantai sosial, dalam kehidupannya mereka selalu berinteraksi dengan
masyarakat dari berbagai strata yang ada di wilayah itu, hanya
keputusan-keputusan politik terpentinglah yang sangat dipengaruhi oleh seorang
elit di daerah itu. Ada
satu hal yang terpenting di balik semuanya itu adalah bukan status sosialnya
yang dimiliki oleh masyarakat, namun hubungan kemanusiaan yang terbangun secara
rapi dan keharmonisan hidup di antara masyarakat.
Sistem Pengendalian Sosial
Orang yang menduduki
strata sosial paling atas itu biasanya disebut sebagai pemimpin. Mereka
memperoleh status Tonowi (dalam Suku Mee), Sonowi (dalam Suku Moni), Disebut
Tonowi,Sonowi karena memiliki kekayaan yang berlimpah dan relasi sosial yang
dibangun juga cukup luas. Kemudian seseorang disebut Tonowi atau Sonowi, bukan
karena hanya memiliki kekayaan namun yang lebih penting juga adalah bijaksana
dalam memutuskan perkara. Misalnya pengambilan keputusan atas persoalan anak
kandungnya, apabila ia membela matian-matian
anaknya telah terbukti bersalah
berarti ia bukan Tonowi atau Sonowi Jadi pengambilan keputusan tertinggi berada
pada seorang pemimpin yang bijaksana dalam menilai persoalan. Seorang Tonowi
atau Sonowi itu adalah seorang yang mampu membedakan antara yang baik dan
buruk, bernilai dan tidak bernilai, yang
menguntungkan dan mana yang merugikan. Itu figur pemimpin dalam konsep
berpikirnya orang Paniyai. Jadi dia Tonowi dan Sonowi dalam harta, berfikir,
bersikap, dan berbicara. Salah satu idealisme orang Paniyai adalah menjadi Tonowi dan Sonowi baik secara
lahiriah maupun rohaniah. Dan Tonowi-Tonowi dan Sonowi inilah yang biasanya
menyelesaikan persoalan termasuk konflik sosial yang timbul di kalangan Paniyai sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang
yang berasal dari lain suku, termasuk para kaum pendatang. Bilamana dalam
kehidupan orang paniyai itu terjadi bentrok misalnya disebabkan oleh masalah utang piutang, kesalahpahaman,
kekeluargaan, perempuan, kekayaan, dan sebagainya akan diselesaikan oleh orang
yang dituakan yaitu orang yang dapat berpikir secara baik. Di setiap kampung, marga, dan komunitas
selalu ada orang yang dituakan dengan
ciri seperti itu. Dengan demikian tidak
ada konsensus bersama antara suara mayoritas dan minoritas dan kalau sampai orang tidak bisa membuktikan
lalu menggunakan dukun, dalam suku mee salahsatunya disebut upacara
Baagapi. Baagapi adalah salah
satu tindakan terakhir yang diambil
untuk membuktikan letak persoalan yang sebenarnya. Orang-orang bijak yang ada di masyarakat itu
pada umumnya pandai melihat letak
persoalan tersebut.
Hubungan Sosial pada Masyarakat Lokal dengan Lainnya
Orang menyebut
dirinya orang Mee karena semua masyarakat yang ada dari kegata sampai makataka.
Moni karena bermukim di wilayah adat moni dari gunung gergaji sampai dumadama,
masing-masing mempunyai mempunyai cara berbusana yang sama, mereka
tinggal di atas tanah yang oleh leluhurnya diakui sebagai tanah nenek moyang,
karena mereka mempunyai satu dasar hukum adat yang sama dan Masing-masing
masyarakat adat itu memiliki hukum adat
yang sama dan mereka menganggap daerah mereka bersih, kudus, dan suci. Anggapan
itu sekaligus mengandung anggapan bahwa suku lainnya merupakan manusia yang
tidak setara dengan mereka. Nilai-nilai yang berlaku di dalam sukunya sendiri
dianggap berlaku secara universal, sehingga nilai-nilai suku sendiri itulah
yang harus dijadikan sebagai patokan bagi suku lainnya. Jadi penyebutan manusia
atau penghargaan terhadap orang lain itu muncul kalau berperilaku, berwatak,
dan bergaya hidup seperti sukunya. Prinsip itu dipegang oleh semua suku yang
ada. Misalnya Tillemens, salah seorang Pastor
Belanda, ketika pertama kali masuk di Paniai dia diberi makanan dan minuman
yang mereka makan.Hal itu dimaksudkan untuk membuktikan apakah ia adalah
manusia atau bukan. Apabila bisa memakan makanan yang mereka sajikan, ia akan dianggap sebagai manusia. Ternyata
dia berperilaku dan bergaya seperti manusia. Dia bisa makan apa yang mereka
makan, dia bisa pikirkan apa yang mereka pikirkan, dia bisa tidur ketika malam
hari. Hal inilah yang memudahkan untuk menerimanya walaupun secara
emo-biologisnya berbeda dari masyarakat setempat.
Sistem nilai masyarakat lokal terhadap alam
Dalam pemahaman
budaya suku-suku di Paniyai, nilai manusia itu sangat tinggi, setiap orang harus
merebut kemanusiaannya. Setiap orang harus berjuang menjadi manusia sempurna,
karena itu tidak ada yang membenarkan bagi setiap manusia untuk memperlakukan orang
lain sebagai binatang. Atas dasar nilai yang mereka pegang itu, mereka memiliki
prinsip apa yang tidak ingin orang lain
lakukan kepada saya, tidak boleh melakukan hal itu juga kepada orang lain.
Nilai manusia itu sangat tinggi, sehingga
ada nasehat bahwa setiap orang harus menjadikan akal budinya sebagai
kakak di dalam tingkah laku hidup. Kalau setiap orang selalu menggunakan akal
budinya, pasti seluruh kehidupannya harmonis, selaras, baik, dan tidak ada
pertikaian, permusuhan dan peperangan. Apabila hal-hal negatif itu terjadi
lebih banyak disebabkan oleh kelalaian manusia.
Pandangan orang
Paniyai terhadap alam memperlihatkan bahwa tanah ini adalah mama (ibu), sebab
kita hidup di atas dia. Segala makhluk hidup termasuk manusia tidak ada
nilainya dan tidak berarti kalau tanpa ada tanah. Dan begitu pula tanah ini
tidak berfungsi kalau tanpa sentuhan tangan manusia. Orang Paniyai menganggap
ibu karena ubi, keladi yang dianggap kebutuhan pokok bagi mereka selalu
bersumber dari tanah. Tanah itu dianggap nilai yang paling berharga, karena itu
tanah harus dinikmati dan tidak boleh dijualbelikan kepada siap saja, tidak
boleh dirusak, dikotori, dan lain-lain. Sebab di atas tanah orang Paniyai
hidup, tumbuh dan berkembang sampai akhirnya kembali ke tanah ketika mereka
meninggal.
Sistem nilai masyarakat lokal terhadap hidup
Orang Paniyai
memiliki anggapan bahwa hidup itu penting dan kerena itu mereka sangat
menghargainya. Ketika perkawinan orang membayar mas kawin dan mengucapkan syukur atas perkawinan ini; ketika anaknya lahir mereka bersyukur; ketika
menyelenggarakan upacara adat inisiasi atau upacara pendewasaan anak mereka
memberikan kurban syukur; ketika orang meninggal pun ada kurban. Hal itu
berarti bahwa setiap bagian atau fase penting dari kehidupan manusia orang perlu berdoa. Kemudian selama hidup
ini, orang tidak boleh jauh dari hukum adat yang ada, sebab ia berpedoman
amanat dari perjalanan hidup manusia. Dan babi itu sahabat teman yang mampu
dengan rela mengorbankan diri demi keselamatan manusia. Dahulu kala ada orang
tua - orang tua yang bergerak di atas hukum adat. Karena itu banyak mukjizat
yang terjadi, misalnya rela mengorbankan diri demi keselamatan manusia dan ada
orang mengembara ribuan kilo meter dalam waktu satu jam, dan sebagainya. Selama
hidupnya, orang berusaha menjadi sempurna.
Penutup
Masyarakat adat
paniai adalah masyarakat yang beradat
dan telah terbukti bahwa karena adat tersebut pada jaman dahulu mereka dapat hidup dengan serasi dan
teratur, tetapi kehadiran era globalisasi yang membawa pengaruh yang beraneka
ragam telah menggeser nilai-nilai dan norma-norma adat itu, dia pun tidak
mendapat tempat yang layak, sehinnga dapat disimpulkan bahwa masyarakat ini
sedang ada dalam suasana Shock
Culture. Oleh karena itu perlu ada filter dari masyarakat itu sendiri
serta terobosan dari pemerintah dan tokoh agama serta tokoh masyarakat untuk
melindungi dan melestarikan budaya yang baik serta melawan dan perlahan-lahan
mengikis budaya yang merugikan masyarakat paniai. Perlu diingat bahwa, masyarakat
adat paniai adalah masyarakat yang pragmatis, selalu mengharapkan adanya
keserasian antara kata dan perbuatan, mereka juga mau ditegur atau
dipersalahkan kalau memang salah tetapi sulit menerima kalau dipersalahkan
padahal mereka merasa tidak bersalah.
Koyao……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar