Oleh: Herman Mote, S.H.
A. Pengantar.
Mengutarakan bahan realita kehidupan
merupakan berangkat dari pengamatan kenyataan hidup masyarakat secara obyektif
spesifik. Perlu mengetahui juga bahwa, bila melihat eksistensi budaya suku Mee
maka secara mendasar dapat dikategorikan bukan satu-dua hal saja tetapi masih
banyak yang kita perlu melihat, mempelajari lalu membenahi. Agar supaya dapat
tercipta suatu kondisi-kondisi bukan bergantung harapan akan tetapi semangat
berusaha mempertahankan sesuai iringan perubahan transisi budaya. Kesempatan
ini kami akan mengetengahkan realita hidup “dide wudi” sebagai rambu/komando
secara sederhana terbatas tidak secara ilmiah terperinci. Gambaran konkrit yang
kita bisa menarik intinya adalah perbandingan proyeksi kedepan antara ‘dide
wudi’ atau ‘proposal’.
Dalam perbandingan kondisi dulu,
kini dan kedepan, mana yang kita prioritaskan antara ‘dide wudi’ dan
‘proposal’. Sekarang kembali kepada kita untuk melihat kembali dan menggagaskan
untuk membangun serta mempertahankan nilai-nilai kebersamaan itu. Kami tidak menarik
semacam ketegasan dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan akan tetapi langsung
saja mengajak kepada pribadi kita untuk berpikir kolektif sesuai iringan
perubahan sekarang, lalu mencari solusi terbaik.
Sebelum tafsirkan salah satu hal
atau kedua hal maka terlebih dahulu perlu mencermati antara kedua hal tersebut.
Pemilahan dapat dilakukan secara obyektif atas kedua hal, setelah itu akan
lebih efektif untuk melihat ke apa dan yang mana terbaik untuk merangkul
kebersamaan itu. Dalam mewujudkan dan membangun wilayah pemerintahan Paniai,
rakyat setempat dan pemberdayaan kesejahteraan masyarakat sendiri.
B. Suatu Pandangan.
Merangkul kebersamaan hidup di
daerah yang baru berkembang itu tidak segampang membalik telapak tanggan tetapi
harus dilandasi melalui budaya masyarakat setempat dan juga tidak boleh
berpikir yang besar (ilmiah) cukup berpikir sederhana saja. Kesederhanaan
itulah yang akan mengantar dan menciptakan suatu kondisi masyarakat sempurna
maka kita sama-sama melirik cara ‘dide wudi’. ‘Dide wudi’ dipandang salah satu
cara sederhana yang menyatukan antar pribadi demi membangun kebersamaan sambil
mengkristalisasi persaudaraan yang mendasar. Makna tersebut dapat kita saksikan
sesuai dengan muatan ‘nota’ didalam noken ‘ute/agiya’. Hal ini merupakan
kreatifitas masyarakat terdahulu untuk menciptakan suatu kebersamaan antara
sesama masyarakat itu sendiri. Maka dengan demikian, kita bersyukur dan
melestarikan serta mempertahankan cara-cara hidup sederhana, didalam menata,
membangun kebersamaan dan persaudaraan sambil menyesuaikan, mempelajari segala
perubahan pada kondisi ‘transisi’ ini.
Angin proposal yang ditiupkan
melalui pemerintah daerah kabupaten itu dapat terbaca membangun kondisi-kondisi
yang memanjakan. Pada dasarnya proposal sangat efektif bila membuat patokan
pra-syarat yang lengkap, jelas, tegas dan bertanggung jawab. Pemikiran itu pun
dapat berpikir ketika membandingkan kondisi terbangun ‘proposalisasi’ dan semua
sudah kenal. Kami tidak bermaksud membatasi tetapi, seyogyanya mana yang terbaik
agar supaya dapat membuat proposal dengan bunyi sasaran kegiatan yang
betul-betul jelas. Jelas dan tidaknya pun bukan persoalan akan tetapi kita
sama-sama memilah kondisi bahwa, setelah mengenal cara membuat proposal dan
sebelum mengenalnya. Lalu kemudian mana yang mendatangkan keuntungan kepada
masyarakat dan juga kepada pemerintah daerah kabupaten kedepan.
Boleh terapkan konsep atau strategi
baru, asal tidak boleh lepas, lupakan begitu saja tentang apa yang kita punya.
Sekali lagi tansisi budaya suku Mee merupakan perubahan perbuatan manusia Mee
itu sendiri dengan cara, sikap, kelakuan kita untuk menerima dan menerapkannya.
Budaya suku Mee dapat dikategorikan sebagai kombinasi statis progresif dan
dinamis progresif, maka dapat kembali kepada pemerintah daerah dan masyarakat
setempat.
Dikatakan pemerintah daerah, perlu
diketahui bahwa terbentuknya pemerintahan daerah karena adanya wilayah, rakyat
yang berbudaya, adat, bahasa serta latar belakang dan cara-cara hidup nya yang
khas. Pada prinsipnya pemerintah daerah harus bersyukur atas potensi yang ada
untuk berprinsip membangun segala aspek sambil menyesuaikan segala kelebihan
dan kelemahan yang ada. Proteksi harus menyesuaikan dengan kondisi geografis,
ekonomis, berpolitik, demokrasi, yang masyarakat secara adat miliki.
Disini dapat mempertegas secara
sederhana saja (bukan secara ilmiah) bahwa, Apakah dalam kondisi yang tidak
menentu ini perlu melihat kembali potensi yang kita miliki ataukah malas tahu
sebab itu kuno? Bila memandang kuno, dengan dasar pemikiran apa dikatakan kuno
lalu konsep apa yang anda/saya terapkannya? Dengan cara bagaimana kita memulai
untuk membangun kebersamaan diatas pondasi budaya kita demi kembangkan segala
kreatifitas masyarakat didalam wilayah pemerintahan yang sedang ‘transisi’?
C. Mari berpikir dari diri.
Pada bagian ini kami mengajak untuk
melihat pada diri ‘aniki mei me atau akiki mei me’ ‘saya siapa sebenarnya dan
kamu siapa’. Hal ini penulis tidak bermaksud untuk mangajak berpikir ‘urusanmu
itu bukan urusanku dan sebaliknya tetapi mengajak mari melihat dirimu terlebih
dahulu lalu melihat diri sesamamu yang lain. Berarti mewujudkan nilai
kebersamaan itu akan nampak dan keharmonisan akan tumbuh ditengah-tengah kita.
Mulai berpikir dari apa yang ada pada diri saya dan apa yang ada pada diri
masyarakatku/mu lalu dapat berpikir secara global. Diketahui juga bahwa,
berpikir untuk diri bukan berarti membatasi semata-mata pada dirinya saja akan
tetapi berpikiran untuk menglobal sambil memihak terhadap masyarakat, lingkungan
sekitar, serta segala atribut yang kita miliki secara adat. Segala atribut,
bisa membedakan bahwa hal apa-apa saja yang bisa pertahankan nilai-nilai
kekhasan dan hal-hal apa saja yang perlu di rekonstruksi kembali sambil
menyesuaikan dengan perkembangan kini.
Perkembangan kini, pemerintah daerah
mengarahkan masyarakat tanpa melihat usaha kegiatan mereka secara jelas tetapi
mendesak kamu harus buat proposal nanti kami (pemerintah bantu dana) berarti
itu sama saja memanjakan sekaligus mematikan kreatifitas masyarakatnya sendiri.
Kemudian masyarakat lupakan segala kelebihan (bugi tai dimi, ekina muni dimi,
koya owapa miyou ga kiya ke dimi gai dimi, eda wagi dimi, dll) yang dimiliki
dari sejak moyang orang Mee. Akhirnya kebiasaan turun-temurun dari generasi ke
generasi untuk hidup bertahan melalui usaha berkebun, beternah, dalam
masyarakat (suku Mee) akan hilangkan dengan sendirinya. Apakah kita salahkan
kehadiran pemerintahan atau masuknya agama, ataukah orang-orang yang nota bene
putra daerah yang duduk didalam?. Penulis tidak memancing untuk menciptakan
pemisahan antar pemerintah dan masyarakat tetapi, sengaja utarakan untuk
melihat dan mencari solusi yang cocok sesuai dengan kondisi wilayah, masyarakat
sambil mengedepan nilai-nilai, norma-norma yang kita miliki.
Sebelumnya terbangun pemikiran
dikalangan masyarakat, kehadiran kabupaten berarti penyelamat hidup kami, jadi
untuk apa saya kerja cape-cape keluar keringat. Kabupaten ada berarti tugas
saya adalah harus buat proposal muda toh kenapa pikir susah kerja diatas kertas
koh. Kondisi sudah terbangun seperti ini berarti kita salahkan siapa? apakah
para orang yang munculkan ide pemekaran kabupaten ataukah para pejabat
didaerah. Kalau berpikir secara murni, arif, bijaksana, terbentuk kabupaten
administratif Paniai bersamaan dengan beberapa kabupaten tetangga lainnya waktu
itu merupakan solusi membuka daerah terisolasi. Maka dengan ini, pencapaian
terbentuknya kabupaten Paniai dapat disambut dengan sikap terbuka oleh seluruh
komponen masyarakat Paniai akan tetapi sikap masyarakat belakangan terlihat
berubah menjadi tertutup ragu. Keterbukaan dan kepolosan mereka pihak
pemerintah daerah Paniai tidak jelih melihatnya untuk mengkonstruksikan
kedepan, sesuai “Paniai Aweta Ena Agapida”.
Keraguan yang dialami oleh masyarakat
itu bisa dilihat dari sikap pemerintah daerah yang sudah menjauhi dari
kenyataan hidup masyarakat suku Mee dan suku lain yang ada di wilayah kabupaten
Paniai. Lebih jelasnya, pemerintah tidak membuka diri untuk melihat kelebihan
dan kelemahan yang ada didalam masyarakat itu apa saja lalu mensikapi sambil
mencari solusi.
Penghayatan hidup yang dialami
masyarakat suku Mee dan beberapa suku di Papua dapat diukur dengan eksistensi
dan realita hidup yang dimilkinya. Lalu dapat menyatuh dengan apa yang kita
miliki seperti “DIDE WUDII”. Dalam praktek dide wudii atau pembagian porsi atau
bagian untuk menjalani kenyataan hidup didalam pemerintahan dan masyarakat
harus diandalkan sesuai prinsip-prinsip atau norma-norma yang dimilikinya.
Jangan dianggap kuno atau primitif bila menerapkan prinsip/norma adat dalam
masing-masing suku (khusus suku Mee). Zaman yang tidak menentu harus berpijak
atas aspek produktif untuk berpikir sikap produktif dengan kondisi kini. Jangan
serong dari peluang strategi untuk menghidupkan cara kita dide wudii yang
dipandang paling pas/cocok bila menerapkan pada zaman sekarang.
Realitas hidup suku Mee dalam bentuk
“dide wudii” atau membagi porsi tanpa dikurangi atau melebih dari porsi yang
ada merupakan realisasi dari wujud keadilan, kebersamaan, persaudaraan,
kekeluargaan dll. Bila ada keberpihakan kita untuk realisasikan nilai-nilai
atau norma-norma adat yang mendatangkan manfaat akomodatif suku Mee sendiri
harus diterapkan dari kalngan pemerintahan lalu ttutunkan ke masyarkat. Misalnya,
berarti dapat berpegang teguh pada nilai-nilai untuk memupuk kebersamaan
komunal sambil mewujudkan “dide wudii” itu sendiri dalam berbagai hal.
D. Wujud Kebersamaan.
Pada bagian itu penulis tidak
menganalisis secara ilmiah sebagaimana seperti biasanya para ilmuwan. Tetapi
nilai kebersamaan yang kita simak secara sederhana tetapi seksama adalah: wujud
kebersamaan biasa-biasa saja ‘dide wudi’ tetapi punya makna mendalam melalui
simbol noken kecil ‘Ute/agiya’ yang selalu isi ubi ‘nota’. Masyarakat suku Mee
kalau mau ke kebun pertama pikirkan itu, ‘ute/agiya’ kedua alat gali ‘wadi’
lalu kemudian gali ubi ‘nota ubai’ dikebunnya sendiri. Selesai gali bersihkan
ubinya lalu kemudian diisi dalam ‘ute/agiya’. Nota yang banyak itu dapat
disatukan dalam ‘ute/agiya’ lalu membawa pulang kerumah. Diketahui bahwa
dirumah ada tamu tetapi itu bukan persoalan bagi tuan rumah namun berpikir
untuk membagi rasa melalui hasil keringatnya itu. Terlihat merasa puas dengan
hasil kebun dirasakan saat membagikan nota yang sudah diisi dalam ‘ute’. Tuan
rumah memiliki rasa tanggung jawab untuk membagikan nota itu agar semuanya
mendapatkan bagian yang sama tanpa kekurangan. Tanpa mengalami kekurangan
disitulah dapat terlihat kepuasan secara bersama-sama dan juga terbangun rasa
kebersamaan dan kekeluargaan secara langsung maupun tak langsung.
Penulis tidak mengutarakan secara
lengkap tetapi ini untuk sekedar ketahui. Sekarang giliran untuk pemerintah dan
masyarakat di Paniai. Apakah pemerintah Paniai dapat membagi porsi pembangunan
itu secara baik dan benar untuk mencapai suatu pemberdayaan dan kesejateraan
masyarakatnya sendiri untuk mencapai harapan enai mo ani gou/aweta ena agapida?
Lalu kini posisi masyarakat Paniai sudah dimana? Apakah ada dampak negatif dan
positif istilah ‘dide wudii’ dan ‘proposal’ dalam menjalankan tupoksi
pemerintah Paniai, ditengah masyarakat yang tahu adat?
Dalam kenyataan hidup suku Mee, bisa
melihat kembali sebagai patokan dengan istilah “DideWudi”. Dide wudi adalah
membagi porsi atau bagian secara merata antara satu dengan yang lain tanpa ada
praktek monopoli baik itu antara kaya (tonowi) atau miskin (daba) akan tetapi
memperoleh hak yang sama dalam peraktek dide wudi. Contoh riil yang terjadi
didalam masyarakat suku Mee (suku-suku lain di Papua) dalam membangun
kebersamaan komunal masyarakat baik intern-suku maupun ekstern-suku. Melalui
beberapa orang atau satu dua orang dapat menyatakan wujud nyata “dide wudi”.
Sebab mereka mengambil hasil kebun yang mereka punya, lalu isi didalam noken
kecil “ute” setelah itu dapat menggumpulkan menjadi satu. Kemudian setelah itu
hasilnya dapat membagikan kepada sesama yang lain secara tulus.
Dide wudi ini, dikenal secara
turun-temurun dari sejak moyang masyarakat suku Mee melalui terjadi kontak
batin antara satu dengan lain untuk mencapai kepuasan/kenyang dari lapar.
Realisasinya tanpa memandang kedudukan baik orang kaya (tonowi) dan orang
miskin (daba bage), rumah berdampingan untuk jadi pembantu dalam kerja-kerja
harian orang kaya. Rumah laki-laki (ema owa/yamewa) ditengah-tengah rumah kaum
hawa atau istri-istri (kewita/dagu), maka itu segala perhatian untuk membagi
porsi atau bagian sesuai peruntukan tidak datang dari salah satu saja tetapi
dari semua wanita.
Wujud kasih, “dide wudi” melalui
sumbangan bagian nota-ubi yang diantar ke rumah laki-laki. Terjadi tanpa ada
unsur paksaan dari siapapun seperti biasanya kalau waktunya tepat dapat membagi
namun terlebih dahulu mengetahui jumlah orang yang ada dirumah laki-laki
(yamewa) melalui anak-anaknya. Untuk mengetahui berapa orang yang ada
didalamnya agar nantinya tidak mengalami kekurangan. Wujud kasih yang terjadi
dapat terlihat dan terasa sekali ketika kantong (noken kecil-agiya ute) diisi
dengan ubi (nota) lalu mengantarkan ke rumah laki-laki. Bentuk kasih yang
datang dari rumah wanita (kewita) bukan suatu hal yang baru tetapi cara hidup
mengasihi yang sudah tumbuh sejak jaman moyang orang Mee.
Kini sudah jarang terlihat tetapi
masih ada praktek saling membangi bagian saya kepada sesama saya yang lain
secara spontan (kini terlihat tidak sistematis seperti dulu) didalam masyarakt
suku Mee dan sebaliknya kepada suku-suku lain.
1. Dasar “Dide Wudi”.
Mengetahui mengenai pendekatan
kebutuhan dasar “dide wudi” berarti manusia tumbuh dari usaha pencarian suatu
strategi pembagunan yang bisa lebih efektif dalam menangani persoalan yang
dialami masyarakat untuk mewujudkan pembangunan itu sendiri sesuai peruntukan,
perencanaan program demi mencapai target pemberdayaan dan kesejahteraan
masyarakat.
Mencapai kebutuhan mendasarkan
secara maksimal seharusnya Paniai harus memiliki strategi dan target program
sesuai norma-norma, prinsip-prinsip, nilai-nilai adat. Namun selamai ini dari
sejak terbentuknya kabupaten Paniai 1996 ibukotanya Enarotali, tidak jelas
agenda program pembangunannya. Biarpun ada program pembangunan akan tetapi
sasaran yang hendak dicapainya tidak jelas, seharusnya strategi demikian itu
mampu membalikkan kecenderungan ketidakmerataan yang semakin meningkat dalam
masyaraakat yang sedang berkembang.
Menatap kondisi keberadaan
pemerintah Paniai dimasa transisi ini seyogyanya menghidupkan cara hidup
sederhana yang sudah kenal, menyatu dengan masyarakat suku Mee agar bisa
menikmati kesejahteraan dan mencapai kemakmuran rakyat secara adil merata.
Untuk menujuh pemberdayaan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur atas
prinsip “enaimo ekowai, enaimo ani gou tiya ke, umi tou tai” artinya bekerja
bersama, membangun bersama, untuk menciptakan suasana hidup bersama.
Untuk mencapai prinsip “enaimo
ekowai, enaimo ani gou tiya ke, umi tou tai”, bila memahami arti kata seperti
ini, akan kembali pada pembagian porsi sesuai peruntukan sasaran yang ada.
Porsi yang dikenal ada biaya anggaran-anggaran pemerintah daerah,
operasionalnya melalui instansi terkait maka berupaya untuk merealisasi
berdasarkan sasaran program kerja tanpa menghambat atau mempengaruhinya harus
ada garis komando (kontrol secara jelas, tegas dan bijaksana) atas kewibawaan
sebagai pimpinan.
‘Dide wudi’ kita pahami bahwa
pembagian porsi yang dapat melalui pemerintahan daerah kabupaten/kota, atau
lewat orang-orang kepercayaan masyarakat harus bersifat humanis dalam menata,
membenahi segala persoalan porsi ‘dide’ yang ada didalamnya. Lalu kemudian akan
membangun kebersamaan, kekeluargaan untuk menata dan membangun kebersamaan atas
wilayahnya. Istilahnya saling bahu-membahu asal membedakan porsi-porsi (dide)
secara jelas, agar dalam penafsiran pembangunan kedepan pun dapat terlaksana
tanpa ada hambatan diantara konsep dan program operasional didaerah.
Dalam tulisan singkat ini kami
mencoba mengutarakan gambaran sederhana dan tentu saja mungkin tidak sepadan
dengan pelaku pengambil kebijakan pembagunan didaerah. Kami berkeyakinan bahwa
untuk membangun suatu wilayah itu gampang-gampang sulit (tidak muda membalik
telapak tangan kita) sebab disana kita akan menghadapi dengan berbagai macam
persoalan. Persoalan tersebut, baik yang sudah ada dan persoalan yang baru ada
setelah pemerintah kabupaten itu terbentuk. Maka dengan demikian kami mencobah
menggambarkan dalam bentuk sederhana untuk lebih jelas koordinasi pengawasan
kerja secara top doun dari atas (Bupati) maupun bottom up dari bawah (kabag
sebagai bawahan dan masyarakat sebagai pemacu proses pembangunan), seperti
berikut:
Setelah mencermati gambaran
sederhana diatas maka perlu memikirkan tentang pendekataan kebutuhan pokok
masyarakat yang mendasar. Perlu menyadari juga bahwa kita belum terlambat untuk
merubah dan memulai kebijakan tegas untuk menentukan kedepan “hendak membawah
kemana”, apakah kita berhenti, memusuhi antara kita, ataukah sama-sama
tentukan“ belum terlambat mari menatap untuk membangun Paniai. Setelah memahami
kondisi masyarakat sekitar lalu mencari solusi pemecahan persoalan yang ada.
Salah satu solusi melihat dan memecahkan persoalan adalah “dide wudi” sebab
tantangan langsung dan tak langsung dalam kesejahteraan masyarakat sudah
menghantui dengan segala usaha pintas.
Dengan demikian memenuhi kebutuhan
masyarakat disegala sektor kehidupan, jangan berfikir menghayal sampai ke kota
metropolitan tetapi harus melihat dari perut masyarakatmu yang sedang lapar
lalu keluar. Gambaran pemikiran secara alami perlu hidupkan kembali dalam
kondisi kini yang serba sulit menujuh kesejahteraan dengan motto yang indah mendalam
diatas kertas itu.
Berarti saatnya untuk kembali
merenung pengalaman hendak membawah kemana pemerintahan serta rakyatnya yang
ada didalam. Kita sebagai sesama manusia yang sama tanpa merendahkan antara
kita maka merekapun secara terbuka bisa menginstrospeksi diri sebagai pemimpin
putra daerah. Hal seperti ini dari kita untuk masyarakat kita maka mari melihat
secara mendalam memimpin pemerintahan, dimana memiliki kekuatan kekuasaan atas
wilayahnya serta masyarakatnya disegala aspek kehidupan yang ada didalam
struktur kepemerintahan secara lembaga pemerintah, lalu kemudian komparasikan
kedalam kondisi daerah setempatnya.
2. Dasar Proposal.
Disini tidak memberikan ketegasan
dasar proposal, akan tetapi sekedar pandangan agar bisa mengetahui untuk jadi bahan
merenung. Secara jujur, proposal yang kini dikenal seluruh komponen lapisan
masyarakat ini mengundang pertanyaan. Proposal itu apa sebenarnya? Dengan
adanya istilah proposal kini, apakah ada jaminan hidup lebih baik atau tidak?
Proposal, jelas tulisan diatas
kertas yang mengutarakan berdasarkan keinginan, kebutuhannya yang membutuhkan.
Yang jelas perincian biaya barang-barang lalu tutup dengan bunyi jumlah total
rupiah. Ironisnya, orang sibukan diri dengan proposal lupa segalanya baik itu
berkebun, beternak, berpikir untuk membuat pagar, menanam kopi dan lain-lain.
Angin proposal, bunyinya sangat menarik namun kenyataannya tidak jelas,
merupakan pelajaran buat pemerintah untuk mencari solusi. Salah satu solusi
harus ada pengawas melalui instansi terkait yang selalu siap turun ke lokasi
untuk mengecek langsung, sambil memberikan penyuluhan atau dalam bentuk lain.
Setelah melihat hasil lalu membantu sesuai permintaan yang diutarakan dalam
proposal tersebut.
Ide untuk menyarankan buat proposal
ini sangat bagus, apabila itu menunjang segala kreatifitas masyarakat yang ada.
Kondisi nyata, justru karena proposal mematikan segala kreatifitas yang sudah
ada karena segala harapan fokuskan pada proposalnya. Jadi istilah “berkebun,
berternak” berubah jadi “proposal” dan disitu tidak akan terbangun, daya kreasi
hidup membuat rumah, kebun, berternak, pun dilupakan begitu saja.Jadi kasarnya
akan tumbuh pemikiran/anggapan gampang.
Proposal tersebut ini, tidak
memancing pemisahan berpendapat akan tetapi menyatukan persepsi lalu melihat
segala eksistensi manusia itu sendiri. Agar supaya, eksistensi manusia itu
dapat dipertahankan dengan segala kreasi, hidup aman, bersama, kekeluargaan,
demokratis, tanpa bergantung kayak “kepeigo” dalam menjalani hidup. Jadi
intinya, usaha yang dapat mengeluarkan keringat dapat bermanfaat ketimbang
usaha yang berpikir kertas dan alat tulis.
3. Melalui Eba mukai.
Eba mukai tidak langsung lakukan
tetapi, terlebih dahulu dapat mengutarakan alternatif-alternatif melalui orang
yang memahami persoalan. Lalu kemudian mencari solusi penyelesaian melalui eba
mukai. Cara hidup ‘eba mukai’ dapat terlihat ketika pada saat-saat tertentu.
Dimana saat tertentu yang dapat mengahadapi persoalan-persoalan. Persoalannya,
yakni membayar mas kawin, menyelesaikan perkara, membiayai anak sekolah, dan
lain-lain. Cara pelaksanaannya dapat menyumbangkan uang (mege) berapapun diatas
‘eba’ yang ditebarkan diatas tanah.
Praktek ‘ebamukai’ dapat hidupkan
saat apapuan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi dalam masyarakat. Jadi
eba mukai dapat terlihat, secara spontan menggerakkan hati kepada orang-orang
yang ada disekitar untuk menyumbangkan. Sumbangan yang disumbang dinillai
berharga sebab menyelesaikan persoalan. Dan juga cara ‘eba mukai’ dapat
mempererat hubungan kebersamaan dan kekompakan dalam kehidupan bermasyarakat
secara mandiri.
4. Berkebun bersama ( Bugitai akado
).
Pertama sebelum mengetahui kebutuhan
pangan terlebih dahulu harus mengetahui keberadaan masyarakat suku Mee.
Keberadaan suku Mee secara geografis dapat diapit oleh beberapa gunung, lembah
dan danau yang mendatangkan manfaat lipat ganda dalam mencukupi kebutuhan
pangan. Dengan cara berkebun dan beternak babi. Pemenuhan kebutuhan (hidup)
pangan masyarakaat suku Mee, dapat terlihat ketika menyatuh dengan alam melalui
cara membuat pagar, bersihkan ladang, membakar pada bagian-bagian yang sudah
dibersihkan, lalu mulai tanam ubi, keladi, sayur, pisang, dan lain-lain
ditanami sesuai kebutuhannya. Akhirnya terbentuk suatu ladang atau kebun, maka
pemilik harus menjaga dan merawat dengan penuh tanggung-jawab sampai mengambil
(panen) hasil kebunnya. Dalam memenuhi dan mempertahankan hidupnya pun mereka
harus berusaha untuk mengeluarkan keringat. Keringat yang disita tidak sia-sia
begitu saja tetapi bisa diukur juga dengan produksi yang setimpal melalui hasil
panen kebunnya.
Jadi perlu mengetahui bahwa
kebutuhan pangan yang dikenal masyarakat suku Mee melalui cara bercocok tanam
bukan hal yang baru. Sudah lama mengenal cara hidup berladang atau berkebun
permanen dilahan-lahan yang memproduksi hasilnya sesuai pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan pangan ini, tidak dibatasi bagi mereka
pemilik saja akan tetapi hasilnya dapat dinikmati bersama dengan tetangga
masyarakat yang lain.
Lalu setelah terbentuknya kabupaten
Paniai masyarakat adat maka upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
masyarakat guna untuk memenuhi kebutuhan pangan? Apakah ada upaya lain dari
pemerintah untuk membangkitkan semangat kreatifitas masyarakat untuk berkebun,
beternak, dan lai-lain?
5. Beternak (muniya agiyo)
Kreasi untuk mempertahankan dan
mengembangkan peternakan babi dapat dihidupkan sebaiknya. Kalau tidak apa yang
terjadi, kehidupan masyarakat adat setempat tidak bertahan hidup permanent atas
usahanya. Masyarakat Mee dapat menampilkan kebolehannya melalui usaha beternak
babi, sebab dengan usaha ternak babi bisa mendatangkan harta. Dan juga
membangun relasi antara lingkup keluarga atau sahabat melalui, iyobai, mune,
pekanapo, dan lain-lain.
Dengan melalui adanya ternak itu,
membuat orang Mee tidak bisa kemana-mana dengan perhitungan bahwa kalau saya
pergi nanti siapa yang memperhatikan ternak saya. Dan juga membentuk komitmen
diri atas ternak. Biasa saja titipkan ke orang lain tetapi sering muncul
perasaan bahwa kalau saya tidak memperhatikan berarti nanti tidak sehat.
6. Ekonomi ( Edepede )
Kebutuhan ekonomi (edepede tiya
doba) yang dikembangkan pemerintah daerah, tidak lain mencapai kesejahteraan
masyarakat itu sendiri. Pada kesempatan ini, penulis mempertegas sampai dimana
kredibilitas pengambil kebijakan didaerah untuk mencapai sasaran kesejahteraan
secara merata. Kita belum terlambat untuk memulai kembali sambil merefleksikan
diri, apakah selama ini betul-betul memperhatikan kesejahteraan masyarakat atau
sebaliknya kesejahteraan pribadi, keluarga dll.
Kebutuhan ekonomi masyarakat
merupakan hal mendasar untuk penentu kehidupan masyarakat kedepan. Mencapai target
kesejahteraan dan pemberdayaan untuk menempu hidup yang diidealkan harus
memulai dari penguatan basis-basis kreatifitas masyarakat setempat. Sambil
mengenal kelebihan dan kelemahan yang mereka miliki untuk kembangkan
kreatifitas usaha masyarakat setempat.
Dulu dalam suku Mee dapat mengenal
“duwa uwii/jawi” dalam rangka mencari kulit bia/siput untuk menambah kebutuhan
ekonomi keluarga. Tampat yang menjadi sasaran cari kulit bia/siput di pantai
selatan dan pantai teluk cenderawasi. Saat mereka tinggalkan rumah orang rumah
selalu menjaga kebersaman agar dalam perjalanan suami bisa sukses. Ujud
kebersamaan yang istri pegang adalah tidak boleh bersihkan keluar kotoran yang
ada didalam rumah sebelum suami kembali kerumah.
7. Bermusyawara dan Berdemokrasi
(enaimo, ena mana wegai).
Bermusyawara dan berdemokrasi yang
dibangun masyarakat suku Mee, bukan hal baru tetapi sudah kenal ada cukup lama.
Bermusyawara dapat terjadi kapan saja untuk mencapai kesepakatan bersama.
Bermusyawara yang diandalkan orang Mee tidak muda dan tidak singkat pula, sebab
dalam bermusyawara harus mengutarakan segala alternatif, baik itu kaya-miskin
demi untuk mencapai sasaran dan kesimpulan yang memuaskan. Mengandalkan saling
mendengarkan untuk memahami makna yang diutarakan, kalau tertarik dan menyentuh
sasaran, dipandangan pendengar maka minta diulang-ulang sekali lagi karena
“berbobot” mana enano enama weegai.
Berdemokrasi yang dibangun dalam
budaya suku Mee, dapat terlihat ketika terjadi demokrasi merakyat untuk
menampung segala masukan-masuk. Demokrasi merakyat dalam suku Mee dapat
mengutarakan segala bahasa, pandangan, gagasan, lalu menghimpun segala
masukan-masukan tadi. Kelebihan yang ada, saling mendengar “dengar pendapat”
dari berbagai lapisan, baik itu suara dari orang kaya, orang miskin, orang yang
hidup sederhana, perempuan, tanpa memandang kelas, prinsipnya untuk mencapai
hidup berdemokrasi.
Bila memahami pemikiran simpel
bermakna diatas ini, kini kembali kepada pelaku pengambil kebijakan pembangunan
dikabupaten Paniai. Apakah bermusyawara dan berdemokrasi budaya suku Mee itu
masih hidup atau tidak? Bila dipandang tidak, solusi apa yang dipakai
pemerintah daerah selaku penggerak pembangunan kabupaten Paniai ini? Kalau
demikian proteksi apa yang diterapkan pemerintah daerah agar “musyawara dan
demokrasi” itu terbangun antara pemerintah dan masyarakat (keterlibatan semua
lapisan masyarakat)? Demi mencapai program pembangunan yang direncanakan oleh
pemerintah daerah harus melalui keterlitabatan masyarakat didaerah, jangan
sepihak semata.
Pertanyaan diatas, dapat dijawab
sesuai “karya nyata” bukan diminta jawab diatas “kertas” untuk diucapkan
sebatas “kata-kata”. Sebab dalam masyarakat “berbudaya” selalu menyesuaikan
dengan apa yang mereka miliki dan apa yang dilakukan sesuai “perbuatan karya
nyata”. Itupun kalau keluar dari nilai budaya yang menunjang bagi mereka
berarti dapat dipahami bahwa transisi budaya suku Mee itu betul-betul terjadi.
Tolok ukur yang menjadi dasar dalam
membenahi segala kelemahan dan kelebihan, harus melalui bermusyawara dan
berdemokrasi. Tanpa musyawara dan berdemokrasi atas segala fenomena yang
terjadi disekitar kita berarti diambang perpecahan atas harta budaya suku Mee
itu sendiri.
8. Konstruksi Rumah ( Owaa migi ).
Kemandirian masyarakat suku Mee
dapat dilihat eksistensi membangun rumah ditempat-tempat moyang mereka. Sebagai
warisan dapat dipilah secara jelas melalui marga/klen (tuma pepe) untuk
mengakui status tanah (owa komouda) dan rumah yang ada diatasnya. Oleh karena
itu, perumahan masyarakat suku Mee tidak seperti pembangunan program pemerintah
yang terlihat seragam teratur. Kini sepertinya memandang rumah adat orang Mee
tidak sesuai dan dipandang primitif. Seyogyanya, harus ada upaya produktif
pengembangan rumah semi-modern dengan motif rumah adat orang Mee, kalau tidak
berpikir kesana berarti tinggal tunggu kenangan.
Secara terbuka dapat mengakui
perumahan permanen masyarakat suku Mee dikenal dan dibangun secara alami dengan
hasil alam setempat tanpa mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk mendatangkan
bahan dari luar, seperti paku, semen, daun sent, gergaji dan lain-lain. Rumah
adat dan rumah bentuk baru dapat diukur sesuai fungsi lama-cepatnya bertahan,
membandingkan rumah yang dibuat secara alami (adat suku Mee) dan rumah motif
inovatif dapat terlihat perbandingannya dari bentuk fisik cepat-lamanya
bertahan.
Melalui bidang teknis dinas
pekerjaan umum atau kimpraswil seyogyanya mengembangkan perumahan rakyat yang
merakyat sesuai kondisi alam setempat. Jangan asal dengan melihat bunyi anggaran
proyek besar akhirnya menggelabui istilahnya kejar proyek. Jadi program
pembangunan secara lokal ada maupun baru datang dari luar pada prinsipnya harus
mempelajari kondisi alam terlebih dahulu sebelum memulai dan merencanakan
program pembangunan. Kemudian bisa memperkirakan sambil memperhitungkan
untung-rugi yang akan mengalami dalam proses pembangunan transisi yang dialami
oleh masyarakat suku Mee jadi jangan asal.
Kalau tidak menghargai eksistensi
keberadaan masyarakat suku Mee dengan rumah permanent layak tinggal seperti
asal bangun tidak berumur berarti masyarakat suku Mee itu dikategorikan jadi
apa atau dibuang kemana?
9. Pendidikan (Topiya/akatope`).
Pendidikan yang dikenal masyarakat
suku Mee adalah pendidikan informal dan pendidikan formal. Pendidikan informal
dalam suku Mee sudah kenal sejak lama melalui, cara membuat panah, cara membuat
noken, cara beternak, buat kebun, dll. Pendidikan formal dapat mengenal sejak
pengaruh luar masuk di wilayah Paniai.
Pendidikan formal sebagai penentu maju-mundurnya
perkembangan mutu kualitas sumber daya manusia lalu kemudian mengisi menjadi
penggerak estafet pembangunan bangsanya. Sebab, pendidikan formal yang ditempuh
secara sistematis adalah bekal untuk membangun kondisi masyarakat yang dulunya
dipandang tertinggal menjadi maju melalui putra-putrinya yang sudah, sedang dan
akan sekolah itu.
Pendidikan Informal yang sudah kenal
oleh masyarakat adalah cara pendidikan yang sudah ada (alami yang masyarakat
kenal/miliki) sebelum adanya kontak pengaruh luar dan dapat dijadikan dasar
atau pondasi untuk petahankan sambil menyesuaikan dengan perkembangan
pendidikan formal yang kita kenal sekarang.
E. Penutup.
Penutup bukan berarti mengakhiri
segala gagasan tersebut itu sempurna dan terjawab akan tetapi diatas ini belum
mendasar apalagi menyentu, tetapi penulis berkeyakinan bahwa saudara dan saya
kita bisa membenahi tanpa menilai-nilai. Gagasan sederhana diatas merupakan
rambu-rambu awal dan sebagai tahap awal untuk kita berpikir mengoreksi kemudian
rekonstruksikan sesuai dengan yang sebenarnya. Pada kesempatan ini pun saya
tidak bersifat tegas atas pandangan gagasan tersebut sebab ketegasan ada
disaudara dan saya untuk menata dan membenahi sesuai perubahan transisi yang
terjadi, kondisi dinamis mengajak untuk memilah yang bermanfaat dan merugikan.
= Mee ko, owa ageida make, dimi yamo
ga, wakou yo, yuda ka dimika ko, ena ma peuma koyoka =
Tidak ada komentar:
Posting Komentar